Oleh: Abdul Rahman
PNS DPPKAD Bangka Selatan
Ketika
Pemerintah Pusat melalui Badan Pertanahan Nasional berkeinginan untuk
mengurangi kasus sengketa pertanahan melalui program sertifikasi Proyek Operasi
Nasional Agraria (PRONA) terkendala beberapa kesulitan dilapangan. Salah
satunya adalah masih kurangnya pemahaman masyarakat akan program PRONA itu
sendiri akibat kurang maskimalnya sosialisasi dari pihak terkait, termasuk
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi masyarakat yang berkeinginan
mengikuti program tersebut. Salah satu persyaratan tersebut adalah pemenuhan
kewajiban sebagai warga negara yaitu membayar Pajak Penghasilan (PPh), dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dalam
sejarah bangsa Indonesia, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang
sering disingkat BPHTB bukan merupakan
hal baru dalam kegiatan sertifikasi baik atas tanah tanpa bangunan maupun atas
tanah dengan bangunan. Hanya saja selama ini pengelolaan BPHTB menjadi wewenang
pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak, sehingga tidak begitu
populer dalam masyarakat khususnya bagi yang melakukan sertifikasi tanah maupun
bangunannya. BPHTB sudah ada sejak bangsa Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda
dengan nama Bea Balik Nama (BBN) berdasarkan Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea
Balik Nama ini sempat dihilangkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Pokok-pokok Agraria--UUPA, namun kemudian diberlakukan lagi sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam UUPA. Regulasi yang mengatur khusus BPHTB
diterbitkan pemerintah melalui UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, yang baru berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 1998.
Sejalan dengan perkembangan dan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam
kehidupan perekonomian bangsa Indonesia, dilakukan penyempurnaan atas
undang-undang tersebut dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997. Cakupan objek pajak
menjadi salah satu hal pokok yang diubah untuk mengantisipasi terjadinya
perolehan hak atas tanah dan bangunan dalam batasan definisi yang baru.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 kemudian tidak berlaku lagi dengan
diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah--UU PDRD. Dengan diterbitkannya UU PDRD, pemerintah daerah
diberikan wewenang sepenuhnya untuk mengelola BPHTB atas transaksi diwilayahnya
masing-masing. Nah, disinilah polemik BPHTB atas sertifikasi tanah dan bangunan
mulai dirasakan khususnya di daerah otonom baru. Sebelum BPHTB dimutasikan
sebagai pajak daerah, pengelolaan sepenuhnya wewenang pemerintah pusat.
Sementara pemerintah daerah sebagai daerah penghasil hanya akan mendapatkan
bagi hasil dari pemungutan BPHTB tersebut. Tak dipungkiri hasil dari pemungutan
BPHTB sangat tidak maksimal, pemerintah pusat tak memiliki SDM yang cukup untuk
melakukan monitoring atas pungutan BPHTB yang ada di daerah. Sehingga transaksi
pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang ada di daerah berjalan apa adanya.
Terlebih tidak ada dukungan antar lembaga yang terkait, baik itu Badan
Pertanahan Nasional, Pejabat Pembuat Akta Tanah, maupun pemerintah daerah
setempat untuk melakukan pemungutan BPHTB sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan demikian, masyarakat yang sudah terbiasa tidak dikenakan BPHTB atas
transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan ketika wewenang pengelolaan
diserahkan ke daerah menjadi
bertanya-tanya. Selama ini tidak pernah dipungut BPHTB dalam pengalihan hak
atas tanah dan bangunan, padahal sebenarnya bukan tidak dikenakan tetapi
pelaksana dilapangan yang mengabaikan peraturan yang ada. Dan yang paling ramai
dibicarakan sekarang adalah pungutan BPHTB atas sertifikasi melalui program PRONA
bagi pendaftaran tanah pertama kali, maupun program sertifikasi tanah bagi
nelayan dan pelaku UKM. Belum maksimalnya sosialisasi baik itu persyaratan PRONA
maupun pengenaan BPHTB atas tanah yang
disertifikasi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak diatas Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NOPTKP). NPOPTKP ditetapkan paling rendah
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak (pasal 87
ayat (4) UU PDRD), demikian juga NPOPTKP dalam hal perolehan hak karena waris
atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri ditetapkan
oleh UU PDRD paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Artinya, jika tanah yang akan disertifikasi Nilai Perolehannya tidak lebih dari
Rp60.000.000,00 maka BPHTB atas transaksi tersbut nihil. Berbeda jika nilai
perolehan diatas Rp60.000.000,00--nilai perolehan Rp80.000.000,00 misalnya maka
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Rp80.000.000,00 dikurangkan Rp60.000.000,00
atau dengan kata lain dasar pengenaan BPHTB sebesar Rp20.000.000,00. Besarnya
BPHTB terutang sebesar Rp1.000.000,00 diperoleh dari perkalian dasar pengenaan
BPHTB dengan tarif BPHTB yang telah ditentukan dala peraturan daerah
masing-masing (asumsi tarif BPHTB di daerah tempat transaksi sebesar 5%). BPHTB
tidak hanya dikenakan pada saat jual beli tanah dan/atau bangunan, tetapi juga
terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan berupa tukar menukar,
hibah, waris, pemasukan tanah dalam perseroan, dan lain-lain.
Program
Sertifikasi Tanah dan/atau Bangunan
Jika
merujuk pada publikasi Badan Pertanahan Nasional dalam laman resminya, "kegiatan PRONA pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran tanah pertama
kali. PRONA dilaksanakan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan
masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah dan menyeselaikan secara tuntas
terhadap sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Tujuan PRONA adalah
memberikan pelayanan pendaftaran pertama kali dengan proses yang sederhana,
mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh
indonesia dengan mengutamakan desa miskin/tertinggal, daerah pertanian subur
atau berkembang, daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota,
daerah pengembangan ekonomi rakyat. PRONA merupakan salah satu wujud upaya
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan ekonomi
lemah sampai dengan menengah. Biaya pengelolaan penyelenggaraan PRONA,
seluruhnya dibebankan kepada rupiah murni di dalam APBN pada alokasi DIPA BPN
RI. Sedangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan alas hak/alat bukti
perolehan/penguasaan tanah, patok batas, materai dan BPHTB/PPh menjadi tanggung
jawab Peserta PRONA."
Ada beberapa kewajiban yang harus
dipenuhi bagi peserta PRONA yang selama ini masih diluar pengetahuan
masyarakat. Kewajiban itu antara lain: 1) Menyediakan/menyiapkan alas hak/alat
bukti perolehan/penguasaan tanah yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah
sesuai ketentuan yang berlaku; 2) menunjukan letak dan batas-batas tanah yang
dimohonkan yang dapat dikuasakan; 3) menyerahkan bukti setor Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan BAngunan (BPHTB) dan bukti setor Pajak Penghasilan dari
Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi peserta yang terkena
ketentuan tersebut; dan 4) memasang patok batas tanah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Dari kewajiban tersebut, poin 4 merupakan kewajiban yang ternyata
masih kurang dipahami masyarakat. Jika transaksi dalam bentuk jual beli, maka
biaya Pajak Penghasilan akan dibebankan kepada penjual sedangkan BPHTB akan
dibebankan kepada pembeli. Dalam kaitannya dengan program sertifikasi PRONA
sebagaimana dituliskan pada laman resmi Badan Pertanahan Nasional, dituliskan
sumber biaya PRONA murni berasal dari APBN yang dialokasikan ke DIPA BPN RI.
Anggran yang dimaksud meliputi biaya untuk penyuluhan, pengumpulan data (alat
bukti/alas hak), pengukuran bidang tanah, pemeriksaan tanah, penerbitan SK
Hak/pengesahan data fisik dan data yuridis, penerbitan sertifikat, dan
supervisi dan pelaporan. Jika memperhatikan anggaran ini, seharusnya tidak ada
lagi pungutan atas pengukuran tanah yang akan disertifikasi karena telah
ditanggung dalam anggaran BPN. Diluar anggaran yang telah ditentukan tersebut,
terdapat biaya resmi yang harus dikeluarkan oleh peserta program. Biaya tersebut
meliputi biaya materai, biaya pembuatan dan pemasangan patok tanda batas, BPHTB
dan Pajak Penghasilan bagi yang terkena ketentuan perpajakan. Tidak ada
pembebasan BPHTB atas sertifikasi tanah dari program PRONA, kecuali jika
dipandang perlu Pemerintah Daerah setempat dapat mengeluarkan keputusan
pengurangan atau pembebasan BPHTB atas program PRONA atau pun program
sertifikasi lainnya dengan tetap berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
Mengatasi Polemik BPHTB atas Sertifikasi Tanah
Dalam pelaksanaan dilapangan,
sosialisasi akan kewajiban khususnya yang berkaitan biaya masih belum maksimal.
Sehingga tidak jarang kemudian dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan
pungutan liar. Jika memang pemerintah serius untuk menghapus pungutan liar
apapun namanya, sosialisasi biaya sertifikasi dapat dimulai dari tingkat desa
sampai tingkat kabupaten. Media yang digunakan dapat berupa brosur, pemasangan
spanduk, pengumuman di papan pengumuman kantor desa/kelurahan, kecamatan,
maupun di kantor-kantor dalam lingkup kabupaten yang berisi syarat-syarat
maupun biaya-biaya yang harus dikeluarkan jika memang ada biaya yang harus
dikeluarkan dalam sertifikasi yang dimaksud. Jika pemerintah berdalih,
informasi sudah disampaikan melalui laman yang ditunjuk, ini sungguh sangat
ironis. Sebab, tidak semua masyarakat yang dapat mengakses internet untuk
melihat informasi yang dimaksud. Bagi pihak pemerintah daerah sebaiknya
melakukan sosialisasi maksimal pengenaan BPHTB atas pengalihan hak tanah
dan/atau bangunan kepada masyarakat secara menyeluruh. Sebagai aparatur yang
diberikan kepercayaan untuk menjalankan program pemerintah sebagikan berlaku
bijak, bukan malah berlaku sebaliknya menciptakan pungutan liar dengan berbagai
alasan. Masyarakat sebaiknya tidak melakukan transaksi pembayaran biaya apapun
di luar kantor yang ditunjuk. Karena hal ini, akan memicu terjadinya kesempatan
pungutan liar semakin subur. Biasakan mengikuti dan melengkapi
persyaratan-persyaratan yang telah resmi ditetapkan. Jika pemerintah pusat yang
memegang wewenang sertifikasi dan pemerintah daerah yang diberikan wewenang
memungut BPHTB dan masyarakat sebagai peserta program sertifikasi bersinergi,
maka polemik BPHTB atas sertifikasi tanah mudah-mudahan dapat teratasi dengan
baik.
No comments:
Post a Comment