BPHTB DALAM SERTIFIKASI TANAH DAN BANGUNAN

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Bangkapos edisi Senin, 15 Desember 2014
Oleh: Abdul Rahman
PNS DPPKAD Bangka Selatan
 
            Ketika Pemerintah Pusat melalui Badan Pertanahan Nasional berkeinginan untuk mengurangi kasus sengketa pertanahan melalui program sertifikasi Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) terkendala beberapa kesulitan dilapangan. Salah satunya adalah masih kurangnya pemahaman masyarakat akan program PRONA itu sendiri akibat kurang maskimalnya sosialisasi dari pihak terkait, termasuk persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi masyarakat yang berkeinginan mengikuti program tersebut. Salah satu persyaratan tersebut adalah pemenuhan kewajiban sebagai warga negara yaitu membayar Pajak Penghasilan (PPh), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
            Dalam sejarah bangsa Indonesia, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang sering  disingkat BPHTB bukan merupakan hal baru dalam kegiatan sertifikasi baik atas tanah tanpa bangunan maupun atas tanah dengan bangunan. Hanya saja selama ini pengelolaan BPHTB menjadi wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak, sehingga tidak begitu populer dalam masyarakat khususnya bagi yang melakukan sertifikasi tanah maupun bangunannya. BPHTB sudah ada sejak bangsa Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda dengan nama Bea Balik Nama (BBN) berdasarkan Staatsblad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini sempat dihilangkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria--UUPA, namun kemudian diberlakukan lagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UUPA. Regulasi yang mengatur khusus BPHTB diterbitkan pemerintah melalui UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang baru berlaku efektif pada tanggal 1 Juli 1998. Sejalan dengan perkembangan dan sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan perekonomian bangsa Indonesia, dilakukan penyempurnaan atas undang-undang tersebut dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997. Cakupan objek pajak menjadi salah satu hal pokok yang diubah untuk mengantisipasi terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan dalam batasan definisi yang baru. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 kemudian tidak berlaku lagi dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah--UU PDRD. Dengan diterbitkannya UU PDRD, pemerintah daerah diberikan wewenang sepenuhnya untuk mengelola BPHTB atas transaksi diwilayahnya masing-masing. Nah, disinilah polemik BPHTB atas sertifikasi tanah dan bangunan mulai dirasakan khususnya di daerah otonom baru. Sebelum BPHTB dimutasikan sebagai pajak daerah, pengelolaan sepenuhnya wewenang pemerintah pusat. Sementara pemerintah daerah sebagai daerah penghasil hanya akan mendapatkan bagi hasil dari pemungutan BPHTB tersebut. Tak dipungkiri hasil dari pemungutan BPHTB sangat tidak maksimal, pemerintah pusat tak memiliki SDM yang cukup untuk melakukan monitoring atas pungutan BPHTB yang ada di daerah. Sehingga transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang ada di daerah berjalan apa adanya. Terlebih tidak ada dukungan antar lembaga yang terkait, baik itu Badan Pertanahan Nasional, Pejabat Pembuat Akta Tanah, maupun pemerintah daerah setempat untuk melakukan pemungutan BPHTB sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, masyarakat yang sudah terbiasa tidak dikenakan BPHTB atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan ketika wewenang pengelolaan diserahkan ke daerah  menjadi bertanya-tanya. Selama ini tidak pernah dipungut BPHTB dalam pengalihan hak atas tanah dan bangunan, padahal sebenarnya bukan tidak dikenakan tetapi pelaksana dilapangan yang mengabaikan peraturan yang ada. Dan yang paling ramai dibicarakan sekarang adalah pungutan BPHTB atas sertifikasi melalui program PRONA bagi pendaftaran tanah pertama kali, maupun program sertifikasi tanah bagi nelayan dan pelaku UKM. Belum maksimalnya sosialisasi baik itu persyaratan PRONA maupun  pengenaan BPHTB atas tanah yang disertifikasi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak diatas Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NOPTKP). NPOPTKP ditetapkan paling rendah Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak (pasal 87 ayat (4) UU PDRD), demikian juga NPOPTKP dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri ditetapkan oleh UU PDRD paling rendah sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Artinya, jika tanah yang akan disertifikasi Nilai Perolehannya tidak lebih dari Rp60.000.000,00 maka BPHTB atas transaksi tersbut nihil. Berbeda jika nilai perolehan diatas Rp60.000.000,00--nilai perolehan Rp80.000.000,00 misalnya maka Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Rp80.000.000,00 dikurangkan Rp60.000.000,00 atau dengan kata lain dasar pengenaan BPHTB sebesar Rp20.000.000,00. Besarnya BPHTB terutang sebesar Rp1.000.000,00 diperoleh dari perkalian dasar pengenaan BPHTB dengan tarif BPHTB yang telah ditentukan dala peraturan daerah masing-masing (asumsi tarif BPHTB di daerah tempat transaksi sebesar 5%). BPHTB tidak hanya dikenakan pada saat jual beli tanah dan/atau bangunan, tetapi juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan berupa tukar menukar, hibah, waris, pemasukan tanah dalam perseroan, dan lain-lain.

            Program Sertifikasi Tanah dan/atau Bangunan

            Jika merujuk pada publikasi Badan Pertanahan Nasional dalam laman resminya, "kegiatan PRONA pada prinsipnya merupakan kegiatan pendaftaran tanah pertama kali. PRONA dilaksanakan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah dan menyeselaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis. Tujuan PRONA adalah memberikan pelayanan pendaftaran pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh indonesia dengan mengutamakan desa miskin/tertinggal, daerah pertanian subur atau berkembang, daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota, daerah pengembangan ekonomi rakyat. PRONA merupakan salah satu wujud upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan ekonomi lemah sampai dengan menengah. Biaya pengelolaan penyelenggaraan PRONA, seluruhnya dibebankan kepada rupiah murni di dalam APBN pada alokasi DIPA BPN RI. Sedangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan alas hak/alat bukti perolehan/penguasaan tanah, patok batas, materai dan BPHTB/PPh menjadi tanggung jawab Peserta PRONA."

            Ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi bagi peserta PRONA yang selama ini masih diluar pengetahuan masyarakat. Kewajiban itu antara lain: 1) Menyediakan/menyiapkan alas hak/alat bukti perolehan/penguasaan tanah yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah sesuai ketentuan yang berlaku; 2) menunjukan letak dan batas-batas tanah yang dimohonkan yang dapat dikuasakan; 3) menyerahkan bukti setor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BAngunan (BPHTB) dan bukti setor Pajak Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (PPh) bagi peserta yang terkena ketentuan tersebut; dan 4) memasang patok batas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari kewajiban tersebut, poin 4 merupakan kewajiban yang ternyata masih kurang dipahami masyarakat. Jika transaksi dalam bentuk jual beli, maka biaya Pajak Penghasilan akan dibebankan kepada penjual sedangkan BPHTB akan dibebankan kepada pembeli. Dalam kaitannya dengan program sertifikasi PRONA sebagaimana dituliskan pada laman resmi Badan Pertanahan Nasional, dituliskan sumber biaya PRONA murni berasal dari APBN yang dialokasikan ke DIPA BPN RI. Anggran yang dimaksud meliputi biaya untuk penyuluhan, pengumpulan data (alat bukti/alas hak), pengukuran bidang tanah, pemeriksaan tanah, penerbitan SK Hak/pengesahan data fisik dan data yuridis, penerbitan sertifikat, dan supervisi dan pelaporan. Jika memperhatikan anggaran ini, seharusnya tidak ada lagi pungutan atas pengukuran tanah yang akan disertifikasi karena telah ditanggung dalam anggaran BPN. Diluar anggaran yang telah ditentukan tersebut, terdapat biaya resmi yang harus dikeluarkan oleh peserta program. Biaya tersebut meliputi biaya materai, biaya pembuatan dan pemasangan patok tanda batas, BPHTB dan Pajak Penghasilan bagi yang terkena ketentuan perpajakan. Tidak ada pembebasan BPHTB atas sertifikasi tanah dari program PRONA, kecuali jika dipandang perlu Pemerintah Daerah setempat dapat mengeluarkan keputusan pengurangan atau pembebasan BPHTB atas program PRONA atau pun program sertifikasi lainnya dengan tetap berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
            Mengatasi Polemik BPHTB atas Sertifikasi Tanah
            Dalam pelaksanaan dilapangan, sosialisasi akan kewajiban khususnya yang berkaitan biaya masih belum maksimal. Sehingga tidak jarang kemudian dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan pungutan liar. Jika memang pemerintah serius untuk menghapus pungutan liar apapun namanya, sosialisasi biaya sertifikasi dapat dimulai dari tingkat desa sampai tingkat kabupaten. Media yang digunakan dapat berupa brosur, pemasangan spanduk, pengumuman di papan pengumuman kantor desa/kelurahan, kecamatan, maupun di kantor-kantor dalam lingkup kabupaten yang berisi syarat-syarat maupun biaya-biaya yang harus dikeluarkan jika memang ada biaya yang harus dikeluarkan dalam sertifikasi yang dimaksud. Jika pemerintah berdalih, informasi sudah disampaikan melalui laman yang ditunjuk, ini sungguh sangat ironis. Sebab, tidak semua masyarakat yang dapat mengakses internet untuk melihat informasi yang dimaksud. Bagi pihak pemerintah daerah sebaiknya melakukan sosialisasi maksimal pengenaan BPHTB atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan kepada masyarakat secara menyeluruh. Sebagai aparatur yang diberikan kepercayaan untuk menjalankan program pemerintah sebagikan berlaku bijak, bukan malah berlaku sebaliknya menciptakan pungutan liar dengan berbagai alasan. Masyarakat sebaiknya tidak melakukan transaksi pembayaran biaya apapun di luar kantor yang ditunjuk. Karena hal ini, akan memicu terjadinya kesempatan pungutan liar semakin subur. Biasakan mengikuti dan melengkapi persyaratan-persyaratan yang telah resmi ditetapkan. Jika pemerintah pusat yang memegang wewenang sertifikasi dan pemerintah daerah yang diberikan wewenang memungut BPHTB dan masyarakat sebagai peserta program sertifikasi bersinergi, maka polemik BPHTB atas sertifikasi tanah mudah-mudahan dapat teratasi dengan baik.

 

No comments:

Post a Comment