Pajak dari dan untuk Kita

Oleh: Abdul Rahman*
Tulisan yang sama terbit di Rakyat Pos Online dan Cetak edisi 19 Oktober 2017


Peranan pajak dalam pendapatan negara dapat di lihat dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau yang lebih dikenal dengan APBN. Pada tahun 2017 misalnya dari target pendapatan negara sebesar 1. 750,3 triliun  sekitar 85,6% atau sebesar 1.498,9 triliun merupakan pendapatan yang bersumber dari pajak--sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2016. Besarnya kontribusi pajak dalam menopang postur APBN tentu menjadi pemicu bagi pemerintah terus mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Setidaknya ada tiga arah kebijakan umum perpajakan yang dicanangkan pemerintah untuk mengantisipasi tercapainya target pendapatan pajak yang dimaksud. Pertama, ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan perpajakan dengan tetap menjaga iklim investasi dunia usaha, stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat. Kedua, peningkatan pelayanan dan kepatuhan Wajib Pajak dengan didukung perbaikan regulasi, administrasi, serta akuntabilitas. Ketiga, dukungan intensif  fiskal yang diarahkan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah ekonomi nasional.

Pelaporan pajak yang dicetuskan direktorat pajak melalui pelaporan sistem elektronik (e-filling) merupakan salah satu upaya peningkatan penerimaan pajak melalui sistem ekstensifikasi  penerimaan perpajakan. Terlepas efektif atau tidak, setidaknya upaya ini memberikan motivasi bagi wajib pajak untuk menghitung dan melaporkan pajak atas penghasilan masing-masing. Meskipun, dalam data Direktorat Jenderal Pajak yang dirilis melalui lamannya pada Maret 2016 menyebutkan dari 93,72 juta orang berpenghasilan baru sekitar 29,4% yang mendaftarkan diri atau terdaftar sebagai wajib pajak.
Ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan kewajiban perpajakannya. Menurut Djamaludin Ancok (Psikologi Terapan:2014), faktor yang menyebabkan penghindaran pajak antara lain, pertama kurang pengetahuan tentang perpajakan. Ketidaktahuan mereka tentang ketentuan dan tatacara perpajakan Indonesia. Ketidakpahaman sebagian masyarakat Indonesia tentang ketentuan dan tatacara perpajakan itulah yang menjadikan mereka memilih untuk tidak ber-NPWP karena mereka beranggapan dengan ber-NPWP akan menyulitkan atau membuat mereka bingung dan ketakutan. Apalagi dengan diberlakukannya sistem self assessment pada pajak penghasilan membuat masyarakat Indonesia yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif pajak menjadi ketakutan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sistem self assessment menuntut masyarakat sebagai wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya secara aktif, mulai dari mendaftarkan diri, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya kepada kantor pajak. Sistem ini juga menuntut masyarakat untuk secara aktif belajar atau mengetahui isi dan maksud suatu peraturan perpajakan dalam rangka untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Kebanyakan masyarakat takut melakukan kesalahan dalam membayar atau melaporkan pajak yang menyebabkan mereka terkena denda pajak yang jumlahnya tidak sedikit. Fakta bahwa kesadaran masyarakat Indonesia untuk membaca masih sangat rendah, terutama dalam membaca peraturan-peraturan yang berhubungan dengan hukum dan negara, membuat hal ini semakin sulit. Kedua, Sikap terhadap pemerintah. Kekhawatiran terhadap penyalahgunaan uang pajak seringkali menjadi pemikiran masyarakat. Bagaimana pajak itu akan dikelola dan ke mana uang pajak itu akan disalurkan, mengingat timbal balik yang diberikan kepada masyarakat dianggap kurang. Apalagi dengan maraknya pemberitaan negatif terhadap pegawai-pegawai pajak, membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan lembaga perpajakan. Ketiga, sikap terhadap pelaksana pemerintah. Persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparat pajak yang ada di kantor pelayanan pajak. Tidak semua aparat pajak bersikap ramah terhadap masyarakat yang berkunjung ke kantor perpajakan, terutama jika masyarakat itu banyak mengajukan pertanyaan. Keempat, sikap terhadap petugas pajak. Petugas pajak adalah mereka yang harus menegakkan aturan permainan (rule of the game) sistem perpajakan. Mereka ibarat pagar yang harus menjaga tanaman. Petugas pajak diharapkan simpatik, bersifat membantu, mudah dihubungi, dan bekerja jujur. Bila petugas berbuat yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka status mereka sama dengan pagar yang memakan tanaman. Tanpa ada perubahan ke arah perilaku yang simpatik dan kejujuran dalam bertugas di kalangan para petugas pajak, maka sulit untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Kelima, sistem pajak dan pelaksanaan pajak yang mudah dan adil. Kemudahan dalam memperoleh, mengisi, dan mengembalikan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), akan menentukan kegairahan untuk membayar pajak. Selain itu, keadilan dalam jumlah pajak yang harus dibayar, baik “keadilan horisontal” maupun “keadilan vertikal” sangat menentukan keikhlasan dan antusiasme membayar pajak. Keadilan horisontal adalah perasaan seseorang bahwa dia membayar pajak relatif sama jumlahnya dengan orang-orang yang tingkat kekayaanya sama dengan yang dimilikinya. Sedangkan keadilan vertikal adalah perasaan seseorang bahwa secara proporsional jumlah pajak yang dibayarnya setara dengan proporsi pajak yang dibayar orang yang lebih kaya atau lebih miskin. Cukup sering terjadi pembayar pajak merasakan adanya ketidakadilan ini, yakni mereka merasa membayar lebih banyak dari yang seharusnya dia bayar.
Beberapa faktor yang diungkapkan diatas merupakan sebagian kecil dari berbagai faktor yang menyebabkan perhindaran pajak oleh masyarakat. Ini mengingatkan pemerintah khususnya direktorat pajak yang khusus menangani pajak pusat dan dinas terkait pajak daerah untuk khsusus pajak daerah untuk memberikan pelayanan terbaik dan meminimalisir semua faktor-faktor yang disebutkan diatas. Jika faktor-faktor tersebut masih terjadi dalam masyarakat untuk menghindari pajak, maka target penerimaan negara  yang bersumber dari penerimaan perpajakan sangat sulit untuk diwujudkan. Sementara kebutuhan pengeluaran negara terus berjalan dan sangat diperlukan dalam proses pembangunan. Kontribusi pajak terhadap belanja negara Tahun 2017 menurut Kementerian Keuangan RI sebesar 70,05%, kekurangan pembiayaan negara tersebut ditutup oleh penerimaan cukai, PNBP, hibah dan utang. Dengan demikian, wajar saja jika posisi utang pemerintah terus bertambah setiap tahunnya. Pada kerangka APBN 2017, misalnya rencana kebutuhan belanja negara ditetapkan sebesar 2.080,5 triliun dan target pendapatan negara sebesar 1.750,3 triliun. Selisih antara kebutuhan belanja dan pendapatan negara ini yang kemudian muncul utang bagi negara. Alokasi belanja pada APBN yang sebagian besar pendapatan—sekitar 85,6%-- bersumber dari pajak dialokasikan terbesar pada anggaran pendidikan sebesar 416,1 triliun atau 20% dari anggran belanja pada APBN, anggaran infrastruktur sebesar 387,3 triliun atau 18,62%, subsidi energi sebesar 77,3 triliun atau 3,72%, anggaran kesehatan sebesar 104 triliun atau 5%. Jika melihat alokasi peruntukan APBN yang sebagian besar bersumber dari pendapatan pajak diperuntukan ke berbagai sektor, tentunya kita patut berbangga bahwa pajak yang kita bayar akan kembali kita nikmati dalam pembangunan bangsa ini, bukan semata-mata untuk pembangunan fisik jalan, jembatan, dan gedung pemerintah seperti yang selama ini kita pahami tetapi juga pembangunan non fisik atau sosial seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan tentunya pembangunan manusia.
Menurut data yang dilansir Bank Indonesia, pada triwulan II-2017 Indonesia memiliki beban utang sebesar 4.478,9 triliun untuk membiayai pembangunan negeri ini. Sehingga muncul pertanyaan, sampai kapan negara akan berhenti berutang??. Bisa jadi jawabannya adalah Negara berhenti berutang sampai seluruh Rakyat Indonesia memahami dan menyadari sepenuhnya bahwa ternyata pajak kita untuk kita.  Sudah banyak fasilitas yang disiapkan negara yang kita nikmati yang bersumber dari pajak. Sebagai petugas pajak, berikan kualitas pelayanan yang baik dan utamakan sikap yang ramah, sopan, dan santun dalam melayani masyarakat. Sebagai pemerintah, berikan aturan perpajakan yang mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat. Dan sebagai masyarakat, daftarkan diri sebagai wajib pajak jika berpenghasilan serta bayar dan laporkan pajak dengan jujur. Dengan demikian, slogan pajak kita untuk kita dapat dirasakan bagi seluruh warga negeri ini.


Link http://www.rakyatpos.com/pajak-dari-dan-untuk-kita.html

No comments:

Post a Comment