CERPEN: "SELEMBAR AMPLOP DALAM KEPALAN"

Karya: Abrah Ns

Cerpen ini telah dimuat di koran Bangka Pos pada halaman Budaya, Minggu (17/10/2021)


"Maaf Bu, saya tidak suka cara Ibu. Orang lain mungkin bisa diperlakukan seperti ini. Tapi, tidak dengan saya!"

"Bukan begitu maksudnya, Bu! sama sekali tidak bermaksud..."

"Ibu tidak perlu repot-repot, jika yang Ibu sampaikan sesuai prosedur dan persyaratan, semua akan lolos." Mirah langsung memotong pembicaraannya. Ia berusaha mengatur diafragma yang tidak beraturan, menahan marah yang sudah di puncak ubun-ubunnya.

 ****

Waktu masih menujukan pukul 19.05 suasana hening di komplek perumahan tempat tinggal Mirah. Meskipun berada di tengah-tengah kota, namun jauh dari kebisingan jika malam hari tiba. Dalam rumah hanya terdengar suara televisi dan celoteh putri semata wayang Mirah yang masih berumur dua setengah tahun. Sesekali suara deru motor melintas memecah kesunyian malam, menghilangkan konsentrasi putrinya yang sedang asyik menikmati tayangan film animasi Diva dan Pupus pada salah satu stasiun TV.

Mirah mencoba merebahkan badan, mendekati putrinya di atas springbed untuk menghilangkan lelah setelah seharian beraktifitas di kantor.

Suaminya telah lebih dulu merebahkan badan sekembali dari berjamaah maghrib di masjid komplek.

"Pak, tolong liat itu siapa yang datang." Suara motor masuk ke halaman rumah dan berhenti persis depan pintu.

"Ada janjian atau pesan makanan online?" Suami Mirah mencoba menerka siapa yang datang.

"Tidak, Pak! Mungkin guru yang mau menitipkan berkas. Terima saja ya, Pak!" Pinta Mirah pada suaminya.

Dengan memakai kain sarung, suaminya segera keluar membuka pintu. Sayup-sayup terdengar obrolan singkat dengan tamu yang datang. Dan betul saja, tamu adalah seorang guru.

"Mau ketemu Mirah, ada Pak?"

"Maaf dengan ibu siapa dan ada keperluan apa ya, kalau boleh tau?"

Tapi, sepertinya sang tamu tidak menyebutkan namanya. Ia hanya memperkenalkan dirinya seorang guru dan ingin bertemu dengan Ibu Mirah. Sebenarnya bukan tidak menerima tamu di rumah yang akan menyelesaikan urusan kantor, tapi untuk masa-masa ini, Mirah berusaha untuk menghindar. Menghindar dari guru-guru yang bersikeras dan berusaha untuk melakukan cara-cara yang tidak benar dalam pengurusan berkas.

Mirah bekerja sebagai PNS pada Dinas Pendidikan di Kota Ambisi. Jabatannya sebagai Fungsional Kepegawaian pada dinas ini. Dengan jabatannya ini, setiap hari berurusan dengan guru-guru yang berada dalam kewenangan Kota Ambisi. Kenaikan pangkat guru, tunjangan guru, pengajuan angka kredit guru menjadi pekerjaan rutinitasnya dan ditambah dengan seabrek pekerjaan tambahan yang terkadang lebih menguras tenaga dan pikiran.

Masa-masa penyampaian berkas pengusulan Penilaian Angka Kredit atau PAK guru, Mirah bertugas menerima dan mengumpulkan berkas pengusulan guru. Kemudian, berkas terkumpul akan disampaikan ke tim PAK dinas. Penentuan tim penilai dan berkas yang dinilai ditentukan secara acak dengan jumlah yang sama pada masing-masing penilai. Penentuan ini dilakukan oleh tim Dinas Pendidikan Kota Ambisi.

[Assalamu'alaikum, Bu! Berkas saya kalo bisa minta tolong, penilainya Pak Sabarudin saja, ya.]

Pesan dari aplikasi berklir hijau ini dikirimkan salah satu guru yang sedang mengajukan berkas pengusulan Penilaian Angka Kredit. Ada banyak pesan serupa, namun tidak ditanggapi Mirah.

Dan paling menggelitik, seorang penilai yang meminta untuk menilai seorang guru.

[Ass, Bu! Saya minta tolong, berkas usulan PAK Ibu Dongoatin SDN 1 Kota Ambisi kalau bisa, saya atau Pak Sabarudin yang menilai. Jangan penilai yang lain ya, Bu.]

Permintaan salah satu tim penilai ini pun tidak ditanggapi Mirah. Karena penasaran, Mirah mencari informasi hubungan Ibu Dongoatin dengan penilai tersebut. Dan setelah ditelusuri ternyata Karya Ilmiah guru tersebut sebagai salah satu syarat untuk naik ke golongan IVa dikerjakan oleh penilai yang berbuat konyol itu.

Bagi Mirah, dirinya bukan sok suci. Tapi ada keinginan untuk mengubah prilaku ASN terutama guru untuk taat aturan. Menjauhkan kebiasaan memberikan amplop, dengan maksud ingin dimudahkan.

Namun, sikap Mirah yang berjuang untuk mengubah kebiasaan itu, terus saja dilakukan oleh oknum guru dengan berbagai cara.

"Bu, bisa keluar sebentar? ada yang mau saya sampaikan, tapi tidak enak di dalam." Pinta seorang guru pada Mirah suatu ketika, saat sibuk-sibuknya Mirah menyelesaikan pekerjaan.

"Bu, kalau ada yang mau disampaikan, sampaikan saja di sini." Mirah menjawab sambil mengetik keyboard laptop dengan sepuluh jarinya. Permintaan seperti ini paling sering dialami Mirah. Dan sudah bisa ditebak, ada amplop dikepalannya.

Kebiasaan ini ternyata sudah menjadi momok yang terpelihara bagi sebagian oknum guru. Ada oknum pegawai dinas yang memang sengaja meminta imbalan setiap berurusan dengan guru. Bahkan, memfasilitasi guru untuk memilih penilai saat pengajuan berkas usulan PAK dengan mengharap ucapan terima kasih dalam kepalan amplop.

"Bu, saya minta tolong. Periode kemarin saya belum bisa lolos ke IVa, angka kredit saya belum cukup. Hanya karena karya ilmiah saya yang tidak diterima." Ucap guru tersebut dengan raut wajah malu-malu.

"Ibu sudah tau kenapa karya ilmiah ibu tidak lolos?" Mirah mencoba mengkorfimasi pada guru yang bersangkutan, untuk melihat apakah yang bersangkutan memahami karya ilmiah yang disampaikan ke penilai.

"Tidak, Bu! tidak ada konfirmasi dari penilai." Jawabnya polos, seakan menutupi kecurangannya, karya ilmiahnya hasil orang lain.

"Penilai memang tidak boleh berkomunikasi langsung dengan yang dinilai, tapi hasil catatan penilai yang disampaikan ke kami, karya ilmiah ibu tidak sinkron antara tugas mengajar ibu." Mirah menjelaskan sambil membuka catatan dari penilai.

"Tapi, Bu! guru-guru yang lain yang dinilai Pak Sabarudin semuanya lolos?" Tanya guru ini tanpa merasa bersalah.

"Penilai tidak begitu mempermasalahkan siapa yang membuat karya ilmiah guru, tapi jika ibu mengajar di kelas 4 tapi karya ilmiahnya kelas 2, kan tidak sinkron. Dan jika ibu membandingkan guru-guru lain, itu haknya penilai. Dan sepengetahuan kami, semua guru yang karya ilmiahnya tidak lolos disebabkan tidak sinkronnya dengan kelas yang diampu."

Guru ini terdiam sejenak. Menarik nafas. Terpancar rasa kesal di wajahnya. Ia kemudian pamit dan meninggalkan ruangan.

****

Malam itu, melihat tamu bersikeras ingin bertemu dengan Mirah, suaminya mempersilakan tamu duduk  untuk menunggu sebentar.

"Mau ketemu langsung, sepertinya penting." Pesan suami Mirah pada istrinya yang tampak berat untuk menemui tamu malam itu.

"Siapa, Pak?

"Tidak tau! katanya guru dan namanya mahal mungkin. Makanya takut ngasih tau."

Mirah bangkit dari springbed, ia meraih jilbabnya yang bekas dipakai. Menemui tamu yang sudah menunggu di kursi tamu teras rumah.

Mirah berbincang. Mendengarkan maksud kedatangan tamu tersebut. Suara televisi yang menayangkan film animasi Diva dan Pupus, menyamarkan suara obrolan Mirah dengan tamunya.

Mendengar suara-suara samar di luar, putri Mirah keluar dari kamar. Meninggalkan film animasi favoritnya.

"Ibu ini apa-apaan sih?" Mirah menarik putrinya dan mengeluarkan selembar amplop yang dimasukan dalam baju putrinya.

"Saya kasih anak Ibu."

"Maaf Bu, sekali saya katakan tidak, ya tidak. Jangan mentang-mentang di kantor saya tidak mau menerima, Ibu ke rumah dengan tujuan yang sama? maaf Bu! Ibu tidak perlu repot-repot." Mirah tampak marah. Dikembalikan amplop itu, ia terus memarahi tamunya tanpa menghiraukan permintaan maafnya yang berulang-ulang.

"Maaf Bu. Maaf. Saya mohon maaf jika Ibu marah." Tamu itu tampak ketakutan dan merasa bersalah.

"Jelas saya marah! Jangan ibu ajarkan anak saya menerima uang sogokan."

Suasana hening. Putri Mirah kembali masuk kamar. Ia tampak tertawa. Tertawa dengan kepolosan melihat ibunya marah-marah.

"Ibu dengarkan baik-baik. Sekali lagi saya sampaikan jika berkas ibu benar dan sinkron, siapapun yang menilai pasti lolos. Ibu berikan saya mobil mewah sekelas Mercy pun, kalau berkas salah ya tetap tidak lolos." Mirah mengakhiri kemarahannya. Sebenarnya ia berniat mengusir tamunya, tapi masih ada setetes rasa hormat. Dibiarkan tamunya berdiri sendiri dari tempat duduknya dan pergi tanpa sepatah kata pun.

Bagi Mirah, integritas lebih penting dari setebal apapun amplop. Dengan menerima amplop, orang akan mudah mengatur dan mengintervensi setiap pekerjaan yang ia lakukan.

 

==================

Abrah Ns merupakan ASN di Kabupaten Bangka Selatan. Di sela-sela aktifitas sebagai abdi negara, menyempatkan diri menulis fiksi maupun non fiksi yang telah dimuat di berbagai media baik media cetak maupun daring. Bukunya yang telah terbit berjudul Goresan Tinta Seorang ASN.

 

No comments:

Post a Comment