Karya: Abrah Ns
Cerpen ini telah dimuat di koran Bangka Pos pada halaman Budaya, Minggu (17/10/2021)
"Maaf Bu, saya tidak suka cara Ibu. Orang lain mungkin bisa diperlakukan seperti ini. Tapi, tidak dengan saya!"
"Bukan
begitu maksudnya, Bu! sama sekali tidak bermaksud..."
"Ibu tidak perlu repot-repot, jika yang Ibu sampaikan sesuai prosedur dan persyaratan, semua akan lolos." Mirah langsung memotong pembicaraannya. Ia berusaha mengatur diafragma yang tidak beraturan, menahan marah yang sudah di puncak ubun-ubunnya.
Waktu
masih menujukan pukul 19.05 suasana hening di komplek perumahan tempat tinggal Mirah. Meskipun berada di tengah-tengah kota, namun jauh dari kebisingan jika
malam hari tiba. Dalam rumah hanya terdengar suara televisi dan celoteh putri
semata wayang Mirah yang masih berumur dua setengah tahun. Sesekali suara deru
motor melintas memecah kesunyian malam, menghilangkan konsentrasi putrinya yang
sedang asyik menikmati tayangan film animasi Diva dan Pupus pada salah satu
stasiun TV.
Mirah
mencoba merebahkan badan, mendekati putrinya di atas springbed untuk
menghilangkan lelah setelah seharian beraktifitas di kantor.
Suaminya
telah lebih dulu merebahkan badan sekembali dari berjamaah maghrib di masjid
komplek.
"Pak,
tolong liat itu siapa yang datang." Suara motor masuk ke halaman rumah dan
berhenti persis depan pintu.
"Ada
janjian atau pesan makanan online?" Suami Mirah mencoba menerka
siapa yang datang.
"Tidak,
Pak! Mungkin guru yang mau menitipkan berkas. Terima saja ya, Pak!" Pinta Mirah pada suaminya.
Dengan
memakai kain sarung, suaminya segera keluar membuka pintu. Sayup-sayup
terdengar obrolan singkat dengan tamu yang datang. Dan betul saja, tamu adalah
seorang guru.
"Mau
ketemu Mirah, ada Pak?"
"Maaf
dengan ibu siapa dan ada keperluan apa ya, kalau boleh tau?"
Tapi,
sepertinya sang tamu tidak menyebutkan namanya. Ia hanya memperkenalkan dirinya
seorang guru dan ingin bertemu dengan Ibu Mirah. Sebenarnya bukan tidak
menerima tamu di rumah yang akan menyelesaikan urusan kantor, tapi untuk
masa-masa ini, Mirah berusaha untuk menghindar. Menghindar dari guru-guru yang
bersikeras dan berusaha untuk melakukan cara-cara yang tidak benar dalam
pengurusan berkas.
Mirah
bekerja sebagai PNS pada Dinas Pendidikan di Kota Ambisi. Jabatannya sebagai
Fungsional Kepegawaian pada dinas ini. Dengan jabatannya ini, setiap hari
berurusan dengan guru-guru yang berada dalam kewenangan Kota Ambisi. Kenaikan
pangkat guru, tunjangan guru, pengajuan angka kredit guru menjadi pekerjaan
rutinitasnya dan ditambah dengan seabrek pekerjaan tambahan yang terkadang
lebih menguras tenaga dan pikiran.
Masa-masa
penyampaian berkas pengusulan Penilaian Angka Kredit atau PAK guru, Mirah
bertugas menerima dan mengumpulkan berkas pengusulan guru. Kemudian, berkas
terkumpul akan disampaikan ke tim PAK dinas. Penentuan tim penilai dan berkas
yang dinilai ditentukan secara acak dengan jumlah yang sama pada masing-masing
penilai. Penentuan ini dilakukan oleh tim Dinas Pendidikan Kota Ambisi.
[Assalamu'alaikum,
Bu! Berkas saya kalo bisa minta tolong, penilainya Pak Sabarudin saja, ya.]
Pesan dari
aplikasi berklir hijau ini dikirimkan salah satu guru yang sedang mengajukan
berkas pengusulan Penilaian Angka Kredit. Ada banyak pesan serupa, namun tidak
ditanggapi Mirah.
Dan
paling menggelitik, seorang penilai yang meminta untuk menilai seorang guru.
[Ass,
Bu! Saya minta tolong, berkas usulan PAK Ibu Dongoatin SDN 1 Kota Ambisi kalau
bisa, saya atau Pak Sabarudin yang menilai. Jangan penilai yang lain ya, Bu.]
Permintaan
salah satu tim penilai ini pun tidak ditanggapi Mirah. Karena penasaran, Mirah mencari informasi hubungan Ibu Dongoatin dengan penilai tersebut. Dan
setelah ditelusuri ternyata Karya Ilmiah guru tersebut sebagai salah satu
syarat untuk naik ke golongan IVa dikerjakan oleh penilai yang berbuat konyol
itu.
Bagi Mirah, dirinya bukan sok suci. Tapi ada keinginan untuk mengubah prilaku ASN
terutama guru untuk taat aturan. Menjauhkan kebiasaan memberikan amplop, dengan
maksud ingin dimudahkan.
Namun,
sikap Mirah yang berjuang untuk mengubah kebiasaan itu, terus saja dilakukan
oleh oknum guru dengan berbagai cara.
"Bu,
bisa keluar sebentar? ada yang mau saya sampaikan, tapi tidak enak di
dalam." Pinta seorang guru pada Mirah suatu ketika, saat sibuk-sibuknya Mirah menyelesaikan pekerjaan.
"Bu,
kalau ada yang mau disampaikan, sampaikan saja di sini." Mirah menjawab
sambil mengetik keyboard laptop
dengan sepuluh jarinya. Permintaan seperti ini paling sering dialami Mirah.
Dan sudah bisa ditebak, ada amplop dikepalannya.
Kebiasaan
ini ternyata sudah menjadi momok yang terpelihara bagi sebagian oknum guru. Ada
oknum pegawai dinas yang memang sengaja meminta imbalan setiap berurusan dengan
guru. Bahkan, memfasilitasi guru untuk memilih penilai saat pengajuan berkas
usulan PAK dengan mengharap ucapan terima kasih dalam kepalan amplop.
"Bu,
saya minta tolong. Periode kemarin saya belum bisa lolos ke IVa, angka kredit
saya belum cukup. Hanya karena karya ilmiah saya yang tidak diterima." Ucap
guru tersebut dengan raut wajah malu-malu.
"Ibu
sudah tau kenapa karya ilmiah ibu tidak lolos?" Mirah mencoba
mengkorfimasi pada guru yang bersangkutan, untuk melihat apakah yang
bersangkutan memahami karya ilmiah yang disampaikan ke penilai.
"Tidak,
Bu! tidak ada konfirmasi dari penilai." Jawabnya polos, seakan menutupi
kecurangannya, karya ilmiahnya hasil orang lain.
"Penilai
memang tidak boleh berkomunikasi langsung dengan yang dinilai, tapi hasil
catatan penilai yang disampaikan ke kami, karya ilmiah ibu tidak sinkron antara
tugas mengajar ibu." Mirah menjelaskan sambil membuka catatan dari
penilai.
"Tapi,
Bu! guru-guru yang lain yang dinilai Pak Sabarudin semuanya lolos?" Tanya
guru ini tanpa merasa bersalah.
"Penilai
tidak begitu mempermasalahkan siapa yang membuat karya ilmiah guru, tapi jika
ibu mengajar di kelas 4 tapi karya ilmiahnya kelas 2, kan tidak sinkron. Dan
jika ibu membandingkan guru-guru lain, itu haknya penilai. Dan sepengetahuan
kami, semua guru yang karya ilmiahnya tidak lolos disebabkan tidak sinkronnya
dengan kelas yang diampu."
Guru ini
terdiam sejenak. Menarik nafas. Terpancar rasa kesal di wajahnya. Ia kemudian
pamit dan meninggalkan ruangan.
****
Malam
itu, melihat tamu bersikeras ingin bertemu dengan Mirah, suaminya
mempersilakan tamu duduk untuk menunggu sebentar.
"Mau
ketemu langsung, sepertinya penting." Pesan suami Mirah pada istrinya
yang tampak berat untuk menemui tamu malam itu.
"Siapa,
Pak?
"Tidak
tau! katanya guru dan namanya mahal mungkin. Makanya takut ngasih tau."
Mirah bangkit dari springbed, ia meraih jilbabnya yang bekas dipakai. Menemui
tamu yang sudah menunggu di kursi tamu teras rumah.
Mirah berbincang. Mendengarkan maksud kedatangan tamu tersebut. Suara televisi yang
menayangkan film animasi Diva dan Pupus, menyamarkan suara obrolan Mirah
dengan tamunya.
Mendengar
suara-suara samar di luar, putri Mirah keluar dari kamar. Meninggalkan film
animasi favoritnya.
"Ibu
ini apa-apaan sih?" Mirah menarik putrinya dan mengeluarkan selembar
amplop yang dimasukan dalam baju putrinya.
"Saya
kasih anak Ibu."
"Maaf
Bu, sekali saya katakan tidak, ya tidak. Jangan mentang-mentang di kantor saya
tidak mau menerima, Ibu ke rumah dengan tujuan yang sama? maaf Bu! Ibu tidak
perlu repot-repot." Mirah tampak marah. Dikembalikan amplop itu, ia terus
memarahi tamunya tanpa menghiraukan permintaan maafnya yang berulang-ulang.
"Maaf
Bu. Maaf. Saya mohon maaf jika Ibu marah." Tamu itu tampak ketakutan dan
merasa bersalah.
"Jelas
saya marah! Jangan ibu ajarkan anak saya menerima uang sogokan."
Suasana
hening. Putri Mirah kembali masuk kamar. Ia tampak tertawa. Tertawa dengan
kepolosan melihat ibunya marah-marah.
"Ibu
dengarkan baik-baik. Sekali lagi saya sampaikan jika berkas ibu benar dan
sinkron, siapapun yang menilai pasti lolos. Ibu berikan saya mobil mewah
sekelas Mercy pun, kalau berkas salah
ya tetap tidak lolos." Mirah mengakhiri kemarahannya. Sebenarnya ia
berniat mengusir tamunya, tapi masih ada setetes rasa hormat. Dibiarkan tamunya
berdiri sendiri dari tempat duduknya dan pergi tanpa sepatah kata pun.
Bagi Mirah, integritas lebih penting dari setebal apapun amplop. Dengan menerima
amplop, orang akan mudah mengatur dan mengintervensi setiap pekerjaan yang ia
lakukan.
==================
Abrah
Ns merupakan ASN di Kabupaten Bangka Selatan. Di sela-sela aktifitas sebagai
abdi negara, menyempatkan diri menulis fiksi maupun non fiksi yang telah dimuat
di berbagai media baik media cetak maupun daring. Bukunya yang telah terbit
berjudul Goresan Tinta Seorang ASN.
No comments:
Post a Comment