oleh: ABDUL RAHMAN (Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Pertiba)
Tulisan ini juga terbit di Bangka Pos dan bangka.tribunnews.com
Salah satu isu penting yang diemban Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022
adalah opsen Pajak Daerah. Sejak diundangkan pada tanggal 5 Januari 2022, undang-undang
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
selanjutnya disingkat UU HKPD ini menjadi perhatian publik terutama di
lingkungan Pemerintah Daerah. Undang-undang ini mengamanatkan pelaksanaan opsen
pajak di Daerah paling lambat 3 tahun sejak UU HKPD diundangkan atau paling
lambat 5 Januari 2025, namun Pemerintah Daerah baik provinsi maupun
kabupaten/kota sudah harus mempersiapkan sesegera mungkin regulasi sebagai
turunan undang-undang ini sebelum tenggat waktu yang ditetapkan.
Hadirnya opsen pajak dalam lingkaran dunia perpajakan tentunya menjadi hal
baru bukan hanya di kalangan pemerintah, juga di tengah masyarakat sebagai Wajib
Pajak. Permasalahannya adalah apakah dengan diberlakukannya opsen pajak akan
meningkatkan Pendapatan Daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintah
provinsi atau kabupaten/kota dibandingkan ketika masih menganut sistem bagi
hasil? Bagaimana dengan pemerintah kabupaten/kota dengan jumlah Wajib Pajak
yang sedikit, jika dibandingkan menggunakan sistem bagi hasil yang juga mendapatkan
bagian dari pemerataan dalam satu provinsi selain bagian atas besaran
persentase kontribusi penerimaannya sedangkan dengan opsen pajak murni
mendapatkan bagian sesuai pajak yang diperoleh di wilayahnya? Dan apakah
masyarakat sebagai Wajib Pajak terkena dampak dengan beban yang bertambah?