oleh: ABDUL RAHMAN (Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Pertiba)
Tulisan ini juga terbit di Bangka Pos dan bangka.tribunnews.com
Salah satu isu penting yang diemban Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 adalah opsen Pajak Daerah. Sejak diundangkan pada tanggal 5 Januari 2022, undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat UU HKPD ini menjadi perhatian publik terutama di lingkungan Pemerintah Daerah. Undang-undang ini mengamanatkan pelaksanaan opsen pajak di Daerah paling lambat 3 tahun sejak UU HKPD diundangkan atau paling lambat 5 Januari 2025, namun Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota sudah harus mempersiapkan sesegera mungkin regulasi sebagai turunan undang-undang ini sebelum tenggat waktu yang ditetapkan.
Hadirnya opsen pajak dalam lingkaran dunia perpajakan tentunya menjadi hal baru bukan hanya di kalangan pemerintah, juga di tengah masyarakat sebagai Wajib Pajak. Permasalahannya adalah apakah dengan diberlakukannya opsen pajak akan meningkatkan Pendapatan Daerah atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dibandingkan ketika masih menganut sistem bagi hasil? Bagaimana dengan pemerintah kabupaten/kota dengan jumlah Wajib Pajak yang sedikit, jika dibandingkan menggunakan sistem bagi hasil yang juga mendapatkan bagian dari pemerataan dalam satu provinsi selain bagian atas besaran persentase kontribusi penerimaannya sedangkan dengan opsen pajak murni mendapatkan bagian sesuai pajak yang diperoleh di wilayahnya? Dan apakah masyarakat sebagai Wajib Pajak terkena dampak dengan beban yang bertambah?
Konsep Opsen Pajak
Opsen pada pasal 1 ayat (61) UU HKPD didefinisikan sebagai pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu. Sedangkan pajak yang dikenakan opsen adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Pemerintah kabupaten/kota sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (62) akan mendapatkan opsen PKB, dan BBNKB, sedangkan pemerintah provinsi akan mendapatkan opsen MBLB sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (63) undang-undang tersebut.
Kebijakan opsen pajak yang dicetuskan oleh pemerintah pusat sejatinya merupakan pengalihan bagi hasil pajak provinsi khusus pada opsen PKB dan BBNKB. Sedangkan opsen Pajak MBLB sejatinya untuk memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan pertambangan yang kewenangannya ada pada pemerintah provinsi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam penjelasan atas UU HKPD pada poin Sistem Pajak dan Retribusi di paragraf ketiga, sangat terang disebutkan bahwa “Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak….Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah.”
Memperhatikan penjelasan dalam Undang-Undang ini, Opsen PKB dan BBNKB dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak. Artinya, kebijakan opsen pajak diharapkan tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat sebagai Wajib Pajak. Jika melihat bleid opsen yang ditujukan untuk meningkatkan sinergi antara provinsi dan kabupaten/kota dalam pemungutan PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB dengan penekanan bahwa pelaksanaan opsen tidak menambah beban maksimun yang dapat ditanggung Wajib Pajak pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota harus benar-benar merumuskan kebijakan agar hadirnya opsen ini masyarakat sebagai Wajib Pajak tidak terkena dampak dengan beban yang bertambah.
Pemerintah pusat telah mengantisipasi agar tidak terjadi beban yang bertambah bagi Wajib Pajak melalui penetapan tarif maksimal dalam UU HKPD tersebut. Pada pasal 10 UU HKPD, tarif PKB ditetapkan untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor pertama ditetapkan paling tinggi 1,2% lebih rendah jika dibandingkan tarif dalam UU PDRD untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama ditetapkan paling tinggi 2%. Untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi 6% lebih rendah jika dibandingkan tarif dalam UU PDRD untuk kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi 10%. Demikian juga untuk kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan umum dan sejenisnya yang ditetapkan paling tinggi 0,5% lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan dalam UU PDRD dengan tarif paling tinggi 1%. Hal yang sama juga dilakukan pada BBNKB, dalam UU HKPD pada Pasal 15, tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi 12% (hanya diberlakukan pada kepemilikan/penyerahan pertama) lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif pada UU PDRD yang ditetapkan paling tinggi 20% untuk penyerahan pertama dan 1% untuk penyerahan kedua dan seterusnya. Dengan penetapan tarif yang lebih rendah dalam UU HKPD oleh pemerintah pusat agar tidak terjadi beban bertambah saat diberlakukannya opsen pajak, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus benar-benar bersinergi agar kebijakan ini dapat dijalankan dan dapat meningkatkan PAD serta beban masyarakat tidak bertambah.
Mekanisme pemungutan opsen pajak sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada pasal 16 dan pasal 17 disebutkan bahwa dasar pengenaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB merupakan PKB terutang dan BBNKB terutang. Dalam ilustrasi pada penjelasan atas Peraturan Pemerintah ini, pada Pasal 107 ayat (3) dicontohkan: Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian Kendaraan Bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp300.000.000,00 sebagaimana diatur lampiran Permendagri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8% (delapan persen), sedangkan tarif opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbikan Pemerintah Daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut: a) BBNKB terutang = 8% x Rp300.000.000,00 = Rp24.000.000,00; b) Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp24.000.000,00 = Rp15.840.000,00. Sehingga total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang sebesar Rp39.840.000,00. BBNKB dan Opsen BBNKB ditagihkan bersamaan saat perolehan kepemilikan. BBNKB sebesar Rp24.000.000,00 menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi S, sedangkan Opsen BBNKB sebesar Rp15.840.000,00 menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X. Kemudian saat bersamaan dengan perolehan kepemilikan kendaraan oleh yang teregistrasi atas nama Wajib Pajak A, sehingga juga terutang PKB. Kendaraan tersebut merupakan kendaraan pertama Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah 1% (satu persen), dan tarif Opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66% (enam puluh enam persen). Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan Pemerintah Provinsi S sebagai pajak terutang sebagai berikut: a) PKB terutang = 1% x Rp300.000.000,00 = Rp3.000.000,00; b) Opsen PKB terutang = 66% x Rp3.000.000,00 = Rp1.980.000,00. Sehingga total PKB dan Opsen PKB terutang yang ditagihkan ke Wajib Pajak A sebesar Rp4.980.000,00. PKB dan Opsen ditagihkan secara bersamaan saat pendaftaran Kendaraan Bermotor. PKB sebesar Rp3.000.000,00 menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi S, sedangkan Opsen PKB sebesar Rp1.980.000,00 menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X. Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai dengan tarif dalam Perda dan nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
Demikian halnya opsen Pajak MBLB yang menjadi pajak baru pada Pemerintah Daerah Provinsi. Opsen Pajak MBLB denga dasar penetapan bersumber dari pajak terutang pada Pajak MBLB yang dikelola Pemerintah Daerah kabupaten/kota. Besaran pokok opsen Pajak MBLB dihitung dengan mengalikan tarif 25% dengan Pajak MBLB terutang. Pada penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023, dicontohkan: Pada tanggal 13 Desember 2025 Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500.000.000,00. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif opsen Pajak MBLB dalam perda PDRD Provinsi S sebesar 25%. Maka, dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X, yaitu: a) Pajak MBLB terutang =20% x Rp500.000.000,00 = Rp100.000.000,00; b) Opesen Pajak MBLB terutang = 25% x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00. Sehingga total Pajak MBLB dan opsen Pajak MBLB terutang sebesar Rp125.000.000,00. Pajak MBLB sebesar Rp100.000.000,00 menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X, sedangkan opesen Pajak MBLB sebesar Rp25.000.000,00 menjadi penerimaan Pemerintah Kabupaten S.
Opsen dan Bagi Hasil
Mencermati penetapan tarif yang ditetapkan dalam UU HKPD maupun ilustrasi perhitungan yang digambarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tersebut, pada opsen PKB dan BBNKB tampak jelas bahwa penetapan tarif tertinggi pada PKB dan BBNKB sebagai dasar perhitungan opsen PKB dan BBNKB terjadi penurunan tarif batas tertinggi dibandingkan saat menggunakan tarif batas tertinggi yang digunakan dalam UU PDRD. Artinya, pembuat kebijakan telah memperhitungkan agar kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah sebagai turunan UU HKPD benar-benar tidak terjadi beban yang bertambah bagi masyarakat. Namun, hal berbeda penulis cermati pada tarif Pajak MBLB. Pemerintah pusat masih menetapkan tarif tertinggi 20% pada Pajak MBLB, dengan tarif yang sama yang ditetapkan dalam UU PDRD. Artinya, jika Pemerintah Daerah tidak cermat dalam menetapkan tarif dalam Peraturan Daerah yang baru sebagai turunan UU HKPD dengan tarif yang sama pada Peraturan Daerah sebelumnya, maka dipastikan akan terjadi kenaikan beban atau beban bertambah bagi Wajib Pajak. Dengan demikian, pemerintah kabupaten/kota harus benar-benar bersinergi dengan pemerintah daerah provinsi dalam penyusunan peraturan daerah agar regulasi yang diterbitkan sesuai yang diamanatkan dalam UU HKPD dan tidak berdampak beban yang bertambah bagi masyarakat sebagai wajib pajak.
Mekanisme penetapan pajak terutang terhadap PKB dan Opsen PKB maupun BBNKB dan Opsen BBNKB, pemerintah kabupaten/kota tidak perlu menunggu proses pengumpulan penerimaan dalam periode tertentu (biasanya triwulan) dari pemerintah provinsi untuk mendapatkan bagian daerahnya. Sebab, opsen PKB dan opsen BBNKB akan disalurkan ke kabupaten/kota pada hari yang sama atau paling lama 3 hari kerja saat pajak terutang diterima sebagaimana tertuang dalam Pasal 108 ayat (7). Hal berbeda jika PKB dan BBNKB masih menggunakan mekanisme sesuai UU PDRD yakni sistem bagi hasil. Pada sistem bagi hasil, hasil penerimaan PKB dan BBNKB akan diserahkan dalam bentuk bagi hasil ke kabupaten/kota sebesar 30% sebagaimana tertuang dalam Pasal 94 UU PDRD. Pada mekanisme bagi hasil, semua penerimaan PKB dan BBNKB akan dikumpulkan dalam satu periode tertentu (biasanya triwulan) oleh pemerintah provinsi selaku pengelola pajak PKB dan BBNKB. Hasil penerimaan PKB dan BBNKB kemudian dibagikan sebesar 30% untuk pemerintah kabupaten/kota dan 70% bagian pemerintah provinsi. Dari bagian kabupaten/kota sebesar 30% tersebut, kemudian dibagi berdasarkan persentase besaran kontribusi masing-masing kabupaten/kota, dan persentase bagian dari bagi rata untuk kabupaten/kota dalam satu provinsi. Mekanisme bagi hasil yang dianut dalam UU PDRD membutuhkan waktu hingga sampai kabupaten/kota mendapatkan haknya dalam bentuk bagi hasil. Belum lagi proses pembagianhasil yang sering diragukan oleh pemerintah kabupaten/kota, meskipun telah dilakukan rekonsiliasi secara kontinu atas bagi hasil yang disalurkan.
Opsen Pajak dan Peningkatan PAD
Dari uraian di atas, opsen PKB dan BBNKB menjadi angin segar bagi pemerintah kabupaten/kota terlebih daerah dengan potensi penerimaan PKB dan BBNKB yang tinggi . Sebab, dengan opsen PKB dan BBNKB penerimaan yang bersumber dari PKB dan BBNKB langsung disalurkan ke kabupaten/kota yang bersangkutan tanpa harus dibagi dengan pemerintah kabupaten/kota lain dalam satu provinsi. Penerimaan PKB dan BBNKB murni dibagi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Sedangkan opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan baru bagi pemerintah provinsi, sehingga dapat meningkatkan PAD pemerintah provinsi. Dan diharapkan, melalui opsen Pajak MBLB pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memperoleh data-data pertambangan MBLB yang perizinannya dipegang oleh pemerintah daerah provinsi. Sehingga, terdapat potensi intensifikasi PAD yang bersumber dari Pajak MBLB. Demikian juga opsen PKB dan BBNKB diharapkan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat meningkatkan PAD dengan bersinergi sesuai kewenangan masing-masing. Yang terpenting, hadirnya opsen PKB dan BBNKB serta opsen Pajak MBLB tidak semakin menambah beban masyarakat sebagai Wajib Pajak. Semoga!
No comments:
Post a Comment