CERPEN: "BANGKU PANJANG TITIPAN PEMBISIK"

Karya: Abrah Ns

(Medan Pos, 22 Nopember 2020)

Sejak genderang pilkada resmi ditabuh, suasana politik di kota ini mulai terasa panas. Terlebih, tiga pasang calon walikota dengan wakilnya yang telah resmi ditetapkan. Masing-masing mengklaim memiliki tim yang tangguh dengan amunisi siap tempur.
Masa kampanye yang disiapkan untuk menyampaikan visi dan misi calon kepala daerah kepada calon pemilih terus berlanjut. 
 

Bagi Rizkon yang statusnya sebagai seorang PNS, pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih kepala daerah ini, mesti ditanggapi biasa-biasa saja. Terlebih, statusnya yang mengharuskan untuk netral.

Berbeda dengan Dunyakin dan Sabarno yang statusnya sama-sama PNS, keduanya tampak grasak-grusuk. Mencoba membaca peluang pemenang di antara tiga pasangan calon. Ada pasangan petahana dengan seorang pengusaha tambang, pasangan anak mantan gubernur sekaligus anggota DPR RI yang rela mengundurkan diri berpasangan dengan seorang akademisi, dan pasangan mantan sekda yang juga melepaskan jabatannya berpasangan dengan seorang petinggi partai ternama di kota ini.

Dunyakin merupakan seorang Kepala Bidang salah satu dinas di kota ini merangkap ketua LSM. Sabarno yang memegang amanah yang lebih menjanjikan, sebagai sekretaris pada dinas yang mengelola pendapatan di kota yang sama.

Jam makan siang di sebuah kantin di komplek perkantoran. Rizkon tanpa sengaja bertemu keduanya. Dunyakin tiba lebih awal, sementara Sabarno muncul sesaat setelah Rizkon dan Dunyakin duduk berhadapan di sebuah meja makan kantin. Awalnya, keduanya berbincang ringan soal masa lalu saat menjalani prajabatan bersama sebelum dilantik menjadi PNS penuh. Perbincangan kemudian berubah tigaratus enampuluh derajat, saat Sabarno tiba dan ikut bergabung dalam satu meja makan. Ia mulai mengupas calon walikota satu per satu. Dunyakin tak kalah semangatnya. Berbeda dengan Rizkon yang sesekali mengalihkan pembicaraan dengan mengajak ngobrol pengunjung kantin yang dipastikan semuanya pegawai kantor.

"Silakan, Pak! Ini pesanannya."

Tiga porsi nasi soto dihidangkan pelayan kantin di meja Rizkon, menghentikan sejenak perbincangan ketiganya.

"Terima kasih, ya!" Ucap Rizkon pada pelayan kantin.

Sambil mengaduk-aduk soto dalam mangkuk dan menikmatinya, Sabarno melanjutkan perbincangannya. Dunyakin hanya mengangguk, sesekali menimpali. Rizkon diam seribu bahasa, lahap menimati makan siangnya.

Keseriusan Sabarno seakan menghipnotis seluruh pengunjung kantin, terdiam, menyimak setiap kata yang diucapkan. Terlebih, beliau merupakan pejabat senior di kota ini.

"Jangan salah, kita harus memilih calon pemimpin yang sudah terbukti. Bukan calon yang baru akan mencoba." Ucapnya berapi-api.

Dari ucapannya, semua pengunjung kantin sudah paham calon yang dimaksud. Meskipun tidak disebutkan nama atau nomor urut dalam pilkada. Sabarmo mencoba mengarahkan untuk  memilih calon petahana bukan hanya pada Rizkon dan Dunyakin, tapi pada seluruh pengunjung kantin.

"Pak, nanti ada wartawan yang mendengar. Bisa-bisa Bapak dilaporkan tidak netral." Rizkon mencoba mengingatkan.

"Pak Sabarno kan tidak menyebutkan nama, tidak netralnya di mana?" Dunyakin mencoba membela Sabarno.

"Ingat, Pak! PNS harus netral." Rizkon menjawab singkat, ia menarik nafas dalam-dalam.

Perbincangan Dunyakin dan Sabarno terus berlanjut, dengan volume suara yang diperkecil.

Rizkon melirik jam yang melingkar di tangannya, ia lalu pamit untuk kembali ke kantor setelah menyelesaikan pembayaran pada kasir. Rizkon paham, jika ia ikut berlama-lama di kantin sementara waktu istirahat siang telah berakhir bukankah termasuk korupsi waktu. Lagipula, pembicaraan dua orang temannya sudah jauh memasuki ketidaknetralan seorang PNS.

Rizkon menjabat sebagai salah satu kepala bagian sekretariat daerah kota itu. Ia menjadi salah satu PNS yang sulit ditemukan di warung kopi. Tempat santai orang-orang penikmat minuman khas berwarna hitam dengan rasa pahit, sambil mengupdate informasi terkini. Ia menghindari stigma negatif PNS suka nongkrong di warung kopi.

Hari pencoblosan pilkada tinggal menghitung hari. Keperpihakan pada salah satu calon oleh Sabarno dan Dunyakin semakin terang-terangan. Ia mencoba mengarahkan bawahannya. Awalnya, Sabarno mengumpulkan semua kepala bidang dan kepala seksi dengan dalih rapat evaluasi bulanan. Namun, di tengah rapat ia lagi-lagi menyinggung soal calon kepala daerah. Meskipun telah diingatkan oleh salah satu kepala bidang untuk fokus pada agenda rapat, namun ia tetap berapi-api bahkan terang-terangan mengarahkan peserta rapat untuk memilih petahana. Sama halnya dengan Dunyakin, ia semakin intens mengarahkan bawahannya untuk memilih calon  tertentu dalam pemilihan kepala daerah yang tinggal berapa hari lagi. Hanya berbeda caranya. Dunyakin mengirimkan pesan pribadi pada masing-masing bawahannya. Meskipun keduanya tidak masuk dalam tim sukses secara tertulis, karena statusnya sebagai PNS yang di'wajib'kan netral . Namun, ia terus bergerak termasuk berencana melakukan serangan fajar. Keduanya mengatur strategi, bergerak cepat. Bahkan, melakukan perbuatan jahat melalui selebaran, menyebarkan fitnah pada salah satu calon yang dianggap sebagai saingan terkuat jagoannya.

"Astagfirullah...."

Rizkon terperanjat kaget membaca berita online pada gawainya. Ia segera membuka nomor kontak dan mengetik nama seseorang. Berulangkali gawainya diarahkan ke telinganya, tidak ada jawaban. Ia lalu membuka aplikasi pesan berklir hijau digawai yang sama, lalu mengirim pesan.

"[Pak Dun, saya baca di berita online ada penangkapan PNS menyebarkan selebaran kampanye, semalam.]"

Rizkon mengirimkan pesan itu pada Dunyakin, sahabatnya. Namun, pesan yang dikirim hanya centang satu, menandakan pesan tidak terkirim.

Siangnya pemberitaan penangkapan seorang pejabat pemkot setempat yang diduga melakukan kampanye salah satu pasangan calon, terus bergulir. Di waktu bersamaan, pemilihan calon kepala daerah sedang berlangsung.

Dunyakin sibuk mengumpulkan hasil rekapitulasi pada TPS-TPS. Menghubungi kolega, saudara, dan bawahannya menanyakan hasil pencoblosan di TPS masing-masing.

"[Kon! di TPS yu yang menang siapa?]" Tanya Dunyakin pada Rizkon melalui pesan.

Dengan cepat Rizkon menanggapi pesan WhatsApp Dunyakin, namun bukan memberikan jawaban melainkan menayakan kembali kebenaran informasi yang sedang viral.

"[Benar gak penangkapan pejabat semalam?]"

"[Benar, tapi sudah aman. Sudah dibebaskan, ada yang menjaminkan diri.]" jawab Dunyakin

"[Di TPS atau wilayah yu siapa yang menang?]" lanjut Dunyakin

"[Beberapa TPS yang aku sempat lihat, Pak Sekda, unggul!]" terang Rizkon

Tidak ada balasan lanjutan dari Dunyakin. Mungkin saja ia terus berburu informasi pemenang di TPS-TPS. Jika petahana yang menang, ia akan aman di kursi jabatannya. Tapi, jika calon lain yang menang ia akan memutar otak agar tidak terdepak dari kursi empuknya menuju bangku panjang.

Hari semakin sore. Matahari pun sudah menuju peraduan. Hilir-mudik kendaraan di depan rumahnya yang sesekali ada yang menyebutkan nama sekda, calon yang unggul di hampir semua TPS-TPS. Dunyakin semakin gelisah, ambisi mendapatkan promosi jabatan yang lebih tinggi semakin memupuskan harapan. Dibayang-bayangi bangku panjang sebagai balas dendam para pembisik pemenang.

Pasca dinyatakan sebagai pemenang dan resmi dilantik menjadi kepala daerah, mantan sekretaris daerah kota yang menjadi walikota ini terus melakukan gebrakan. Salah satunya melakukan assesment pada pejabat esselon di jajarannya. Dunyakin dengan percaya diri mengikuti assesment sesuai undangan yang diterimanya. Demikian juga Sabarno, meskipun tersandung kasus pelanggaran netralitas PNS, namun ia tetap menghirup udara bebas tanpa ada sanksi. Ia bebas berkat jaminan calon petahana yang didukungnya.

Enam bulan sebelas hari pasca pelantikan sebagai walikota, perombakan pejabat esselon untuk pertama kalinya dilakukan. Memang harus menunggu enam bulan setelah pelantikan, aturannya demikian, baru dapat melakukan perombakan "kabinet" pada kota yang dipimpinnya. Pelantikan pejabat dilakukan secara besar-besaran. Namun, Dunyakin dan Sabarno tidak mendapat undangan.

Dunyakin dan Sabarno dilengserkan dari jabatannya, keduanya dibangkupanjangkan. Berbeda dengan Rizkon masih pada posisi jabatan semula.

Sabarno dan sejumlah pejabat yang di bangku panjang melakukan perlawanan dengan melaporkan ke Komite ASN, dengan dalih pelantikan bukan berdasarkan hasil assesment. Namun, ia dan kawan-kawan kalah oleh kekuasaan.

Sabarno akhirnya mengajukan pensiun dini di usia 5o tahun. Sedangkan Dunyakin legowo dengan bangku panjang.

Untuk membalaskan dendam politiknya, Sabarno masuk partai politik dan dicalonkan dalam pemilihan legislatif oleh partainya. Keyakinannya merebut 1 kursi di lesislatif kota juga pupus.

Sabarno akhirnya mencalonkan diri dalam pemilihan ketua RT, ia terpilih mengalahkan ketua RT petahana. Dengan pekerjaan barunya, ia berusaha melupakan pahitnya dibangkupanjangkan titipan pembisik penguasa, yang juga pernah ia lakukan demi mendapatkan jabatan yang diinginkan.

==================

Abrah Ns merupakan ASN  di Kabupaten Bangka Selatan. Aktif menulis fiksi maupun non fiksi di berbagai media, seperti pada harian Bangka Pos dan Rakyat Pos. Bukunya yang telah terbit berjudul Goresan Tinta Seorang ASN.

 

No comments:

Post a Comment