Menyoal Kesiapan Daerah Terhadap UU HKPD*)

 Oleh: Abdul Rahman, Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Muda Kab. Bangka Selatan dan Mahasiswa Magister Manajemen PERTIBA Pangkalpinang

*) Tulisan terbit di koran harian Rakyat Pos, edisi Kamis 29  September 2022 dan dapat diakses pada link https://rakyatpos.com/menyoal-kesiapan-daerah-terhadap-uu-hkpd.html

Pemerintah terus berbenah agar tujuan bernegara dapat terwujud, yakni pemerataan kesejahteraan di seluruh pelosok NKRI. Salah satu upaya yang dilakukan melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam hal desentralisasi fiskal, menurut Mardiasmo dalam bukunya Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah (2018:7) bahwa desentralisasi mengemban misi utama berupa pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Secara teoritis, desentralisasi diharapkan menghasilkan dua manfaat nyata, Pertama; mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasi-hasil pembangunan yang berkeadilan di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua; memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah dan memiliki informasi paling lengkap (Mardiasmo; 2018: 8-9).

Salah satu manfaat desentralisasi yang diharapkan adalah pemerataan hasil-hasil pembangunan yang berkeadilan, diantaranya pemerataan hak keuangan di daerah. Daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah memiliki potensi untuk memperoleh hak keuangan yang lebih baik, namun tidak melupakan hak bagi daerah yang berbatasan langsung termasuk daerah dalam satu provinsi untuk ikut menikmati sumber daya alam daerah penghasil melalui mekanisme bagi hasil.

Hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah—dalam tulisan ini disebut UU HKPD—merupakan upaya pemerintah melakukan penyempurnaan agar keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerintah daerah yang satu dengan yang lainnya terjadi pemerataan yang berkeadilan. Termasuk pengaturan desentralisasi pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang beberapa jenis dilakukan perubahan sesuai dengan kewenangan daerah.

Muatan UU HKPD sebagaimana termaktub pada Pasal 2 meliputi pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; Pengelolaan Transfer ke Daerah (TKD); pengeloaan Belanja Daerah; pemberian keweangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah, dan pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional. Dan tulisan ini, khusus membahas muatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pajak dan Retribusi Daerah

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam UU HKPD merestrukturisasi Pajak melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi (Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Penerangan Jalan) menjadi satu jenis Pajak, yaitu Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan  Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya  duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga  manfaat  yang diperoleh  lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan  pemantauan  pemungutan Pajak terintegrasi  oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi  kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan.  Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis  konsumsi, PBJT mengatur perluasan  Objek Pajak seperti atas parkir valet objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).

Selain merestrukturisasi pajak, Pemerintah  juga memberikan  kewenangan  pemungutan Opsen Pajak antara  level pemerintahan provinsi  dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan  dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah  tanpa menambah  beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan  akan dicatat sebagai  PAD, serta memberikan  kepastian atas penerimaan  Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema  bagr hasil. Sementara  itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai  sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat  fungsi penerbitan  izin dan pengawasan  kegiatan pertambangan  di Daerah. Hal ini akan mendukung  pengelolaan Keuangan  Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan,  penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong  peran Daerah  untuk melakukan ekstensifikasi  perpajakan  Daerah baik itu bagi pemerintah  provinsi maupun pemerintah  kabupaten/kota.

Pada Retribusi Daerah, penyederhanaan  Retribusi  dilakukan  melalui  rasionalisasi jumlah Retribusi.  Retribusi diklasifikasikan  dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi  disederhanakan  dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan  belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi  tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi  yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi  dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat  dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban  Pemerintah  Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan  implementasi  Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan  lapangan kerja yang lebih luas.

Kesiapan Pemerintah Daerah

UU HKPD yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 5 Januari 2022 dan dinyatakan berlaku sejak ditandatangani, namun tidak serta merta mencabut seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan undang-undang tersebut. Ada rentang waktu 2 (dua) tahun paling lambat sejak diundangkannya undang-undang tersebut bagi pemerintah untuk menyiapan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang yang dimaksud. Demikian juga peraturan daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disusun berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pajak Daerah Retribusi Daerah—Selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU PDRD—masih dinyatakan berlaku sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Peralihan UU HKPD. Pada pasal 187 butir (b) disebutkan “Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang  Nomor  28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku  paling lama 2 (dua) tahun terhitung  sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini.” Pada butir (c), berbunyi “khusus ketentuan mengenai  Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan  Bermotor,  Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 3  (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini.” Artinya, Pajak Daerah dan Retribusi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaannya, masih dapat melakukan pemungutan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang diterbitkan sebelum UU HKPD ini, sepanjang belum adanya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini terkait dengan Pajak Daerah dan retribusi daerah. Jika jangka waktu yang ditentukan namun pemerintah dan Pemerintah Daerah belum menetapkan peraturan perudang-undangan sebagai turunan UU HKPD tersebut, maka baru kemudian ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengikuti ketentuan berdasarkan UU HKPD.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut: Undang-Undang dasar 1945; Ketetapan MPR; Undang-Undang/Peraturan Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah; Peraturan Gubernur; dan Peraturan Bupati/Walikota. Sehingga Peraturan Daerah (Perda) menjadi salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 butir (b) di atas. Sehingga peraturan daerah yang terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sepanjang belum diterbitkannya peraturan daerah pengganti atau terdapat peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih tinggi dari peraturan daerah tersebut.

Terbitnya beberapa surat instansi yang memerintahkan untuk menghentikan pemungutan Retribusi Daerah tertentu kepada Pemerintah Daerah tanpa menyertakan peraturan pelaksanaan perundang-udangan sebaagai dasar untuk mencabut retribusi yang dimaksud sebaiknya ditinjau ulang agar potensi Penerimaan Daerah yang bersumber dari Retribusi Daerah tidak tergerus. Pemerintah daerahpun harus berani menyatakan sikap untuk menolak perintah menghentikan pemungutan retribusi daerah jika dasar perintah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rentang waktu 2 (dua) tahun yang diberikan untuk menyiapkan Peraturan Pelaksanaan UU HKPD harus dimanfaatkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyiapkan peraturan daerah khususnya yang terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dan berkaca pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan pokok pengujian Pajak Penerangan Jalan yang Dihasilkan Sendiri, Mahkamah memerintahkan kepada Pembentuk Undang-Undang untuk membentuk ketentuan baru sebagai dasar pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak diucapkan putusan, namun kenyataannya sampai batas waktu yang ditentukan pemerintah belum juga membentuk ketentuan baru yang dimaksud sehingga pemungutan Pajak Penerangan Jalan setelah batas waktu yang ditentukan tersebut menjadi polemik  di pemerintah daerah, diperparah lagi muncul draf Rancangan Peraturan Pemerintah yang diantaranya memerintahkan untuk mengembalikan pungutan Pajak Penerangan Jalan yang dipungut setelah waktu yang ditentukan oleh Mahkamah tidak terpenuhi. Hal ini, semoga tidak terulang dalam penyusunan peraturan turunan UU HKPD ini.

Harapan Hadirnya UU HKPD

Perlu keseriusan Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Daerah sebagai peraturan pelaksanaan UU HKPD agar potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat dikelola secara maksimal sebagaimana maksud dihadirkannya UU HKPD tersebut. Jika Pemerintah Pusat sedang berpacu dengan waktu menyusun Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksannan UU HKPD dengan melibatkan Pemerintah Daerah melalui diskusi-diskusi publik agar mendapatkan saran dan masukan, maka Pemerintah Daerahpun harus membuka ruang diskusi publik dalam menyusun Peraturan Daerah agar peraturan yang ditetapkan mampu menyerap aspirasi masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga, Peraturan Daerah yang diterbitkan dapat diimplementasikan secara maskimal dengan dukungan seluruh elemen termasuk para pengusaha, akademisi, dan masyarakat secara umum. Meskipun pemerintah daerah dalam menyusun peraturan daerah tetap menunggu peraturan pemerintah sebagai turunan atau peraturan pelaknsaan UU HKPD. Namun, setidaknya sebelum Peraturan Pemerintah terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai paraturan pelaksanaan UU HKPD diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sudah memiliki rancangan peraturan daerah terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai peraturan pelaksanaan UU HKPD di daerah sehingga peluang untuk meraih sumber pendapatan dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak terbuang sia-sia. Terlebih, adanya perubahan beberapa pengelolaan Pajak Daerah melalui mekanisme opsen dalam UU HKPD. Pajak opsen bagi Pemerintah Provinsi yakni Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang sebelumnya menjadi pengelolaan sepenuhnya di Pemerintah Kabupaten/Kota. Pajak opsen untuk Pemerintah Kabupaten/Kota, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang sebelumnya menjadi pengelolaan sepenuhnya oleh Pemerintah Provinsi. Jika sampai batas waktu yang ditentukan pemerintah kabupaten/kota belum menerbitkan peraturan daerah sebagai peraturan pelaksanaan UU HKPD maka pendapatan yang bersumber dari PKB dan BBNKB tidak dapat dipungut dan juga tidak mendapatkan bagi hasil atas pajak tersebut seperti sebelum UU HKPD diberlakukan. 

Hadirnya UU HKPD diharapkan mampu dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk menggali dan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang ada dengan meningkatan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat sebagaimana manfaat yang diharapkan dalam desentralisasi. Peraturan Perundang-Undangan yang diterbitkan di daerah harus mengakomodir semua kepentingan dan sesuai dengan kondisi nyata di daerah masing-masing. Semoga!

No comments:

Post a Comment