CERPEN: "WAJAH SANG PENGHARAP"

 Karya: Abrah Ns

Dimuat di Harian Pagi Bangka Pos, edisi Minggu (30 Agustus 2020)

Jam yang tertempel pada tembok tepat di atas kasir warung kopi Ambisi menunjukan pukul delapan pagi, suasana ramai. Warung kopi ini memang selalu ramai dikunjungi warga kota Mimpi di republik Ambisi. Bukan hanya warga lokal para pecandu minuman beraroma dengan ciri khas rasa pahit ini, melainkan warga dari luar daerah yang berkunjung ke kota Mimpi dapat dipastikan terhipnotis mampir sekedar menikmati segelas kopi. Terlebih, saat bertepatan dengan hari jumat atau hari libur, pengunjung dipastikan membludak dengan tambahan meja di atas trotoar jalan. Seperti hari ini, hari libur yang kebetulan jatuh di hari Jumat. Hari libur nasional, Tahun Baru Hijriah.

Setelah memesan secangkir kopi dan mencari tempat duduk yang masing luang, aku duduk sembari mengamati wajah-wajah para pecandu kopi dan sesekali mendengarkan obrolan diantara mereka. Dua meja dari tempat aku duduk, tampak tiga orang yang wajah serius, membicarakan sesuatu.

"Kalo analisamu, siapa kira-kira pasangan yang paling berpeluang?”

"Sekarang ini agak sulit ditebak. Masyarakat gak mudah lagi di bujuk-bujuk dengan janji manis, mereka akan memilih yang pasti-pasti."

"Kalo prediksiku pak wawali bisa jadi, kalo pasangannya orang yang mumpuni. Sekarang kan hanya sebagai ban serep, jadi kinerjanya nyaris tak nampak!"

Bincang ringan tapi serius tiga orang di warung kopi ternama di kota Mimpi ini mewakili suasana tahapan pilkada serentak di negeri Ambisi.

Para kandidat, bukan hanya menjadi perbicangan di warung kopi, tapi juga menjadi topik di  laman-laman media sosial. Entah itu facebook, twitter, instagram  atau media sosial lainnya tetiba dihiasi kata-kata bijak. Pamer aksi sosial, peduli sesama, mendatangi korban banjir, memberikan bantuan sembako pada korban angin puting beliung, dan beragam aksi pencitraan yang seakan sulit ditemukan setelah tidak terpilih atau terpilih sekalipun. Permintaan pertemanan di media sosial, seakan-akan merengek-rengek  membutuhkan kita. Padahal kita tidak paham siapa mereka.

Yang selama ini tidak pernah memenuhi undangan acara selamatan tetangga, tiba-tiba muncul menyalami undangan yang hadir. Yang ke masjid saat hari jumat atau sholat ied saja, tiba-tiba rajin sholat magrib ke masjid.

Ada yang sinis menemui sikap berubah drastis bakal calon kepala daerah ini, ada juga yang terang-terangan menyinggung yang bersangkutan.

Aku sendiri bingung, tapi mungkin tidak dengan tiga orang laki yang sedang menikmati kopi hitam di warung kopi ini. Mereka tampaknya memiliki jagoan masing-masing. Bisa jadi mereka siap menjadi bagian tim sukses pasangan calon, siap membela mati-matian agar jagoannya menang.

Demiikian juga wajah-wajah orang yang menawarkan diri untuk memimpin kota Mimpi ini mulai menghiasi sepanjang jalan dengan berbagai ukuran spanduk bahkan baliho. Tak lagi memperhatikan estetika sebuah kota, spanduk bebas dibentang dan ditancapkan. Menariknya, sebuah spanduk yang menawarkan diri untuk memimpin kota Mimpi lima tahun ke depan slogan Kota Tertib Berbudaya namun terpasang menutupi rambu dilarang memasang spanduk di area ini!

Kota Tertib Berbudaya, ini serius atau sekedar slogan sih sebenarnya? hmm! Sebagai rakyat biasa seperti aku, sama sekali tak ada gunanya melakukan protes pada penguasa. Meskipun kata guru pelajaran PMP saat aku sekolah dulu, pemerintah itu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

“Emang sekarang sudah masa kampanye lagi, ya?” tanya seorang bapak-bapak tua denganku dua minggu yang lalu, saat aku berpapasan di simpang empat kota Mimpi.

Wajar saja si bapak bertanya. Belum lagi masuk masa kampanye, spanduk yang saling menutupi di setiap persimpangan jalan semakin semarak yang sudah tak beraturan letak dan posisinya.  Saling menutupi wajah satu dengan wajah spanduk lainnya. Tidak ada lagi saling menghargai, bahkan terang-terangan saling merobek spanduk yang belum tentu menjadi lawannya nanti.

Bakal calon terus bermunculan. Ada anak mantan gubernur, ayah anggota dewan, pengusaha ternama di pusat ibukota, istri mantan walikota. Bahkan ASN yang masih aktfipun berani menawarkan diri dengan spanduk yang tak kalah banyaknya. Dan yang lebih mendominasi petahana, wakil walikota. Walikota sendiri sudah dua periode terpilih. Dan secara aturan tidak boleh lagi ikut bertarung.

"Pak, sini gabung dengan kita." Panggil salah satu dari tiga laki-laki penikmat kopi itu pada temannya yang baru tiba.

Aku sendiri duduk jarak dua meja dari tiga laki-laki itu, sendirian menikmati kopi susu ditemani pisang goreng krispy yang masih beruap panas, baru dikeluarkan dari penggorengan.

"Ada cerita menarik apa, nih?" Tanya laki-laki bertubuh tegap yang baru tiba itu. Turun dari mobil berplat merah. Belakangan kuketahui bernama Restominardi, dipanggil Resto, seorang pejabat di kota Mimpi. Enak benar bapak ini, libur-libur masih bebas menggunakan mobil dinas. Pikirku!

"Biasalah Pak, musim pencalonan." Jawab seorang dari tiga laki-laki itu sembari menyodorkan bungkusan rokok.

"Kira-kira yang sudah pasti maju sudah ada gambaran belum, nih?" Tanya Resto pada tiga orang temannya.

"Yang pasti sudah ada kendaraan, baru pasangan petahana dengan anak mantan gubernur. Yang lain masing cari dukungan dan kendaraan." Jawab seorang laki-laki penikmat kopi itu yang sudah tak asing lagi di mataku. Iya, dia seorang pemborong.

Mereka berempat asyik berbincang. Aku tetap mengotak atik gawai melihat-lihat kabar terbaru di Kota Mimpi dan Negeri Ambisi ini. Telingaku begitu jelas mendengar cerita-cerita mereka.

Sesekali mereka bicara pelan. Seakan ada yang dirahasiakan.

***

Daya tarik warung kopi telah memikatku duduk hampir enampuluh menit.

Ketika hendak beranjak menuju kasir, datang sahabatku kala masih SMP. Ia sekarang menjadi anggota dewan di kota Mimpi.

"Halloo Rizkon, apa kabar?" Ia menyalami dan merangkulku. Badannya yang bongsor membuatku kesusahan bergerak dirangkulnya. Sementara aku berbadan kecil, hampir setengah badannya.

"Alhamdulillah, Pak Dewan." Sapaku dengan napas tersengal-sengan, masih dirangkul dan gogang-goyangkannya badanku.

"Temani aku ngopi." Ujar anggota dewan yang sudah periode kedua duduk di legislatif kota Mimpi.

"Siap, Pak Dewan!" Sahutku sembari melepaskan tangannya yang terus merangkulku.

"Biasa aja Rizkon, gak usah panggil aku pak dewan. Kita udah temenan sejak SMP bukan baru dua tiga hari, panggil Diman saja seperti memanggilku dulu." Pintanya.

Diman Hikayat, nama anggota dewan yang dulu menjadi teman seperjuangan di SMP Negeri di Kota Mimpi. Ia ramah, sopan, dan suka menasehati jika ada teman-taman kami yang bercanda keterlaluan. Selepas SMP, ia melanjutkan pendidikan ke luar kota Mimpi. Kembali setelah menyelesaikan pendidikan Strata 1 di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri Ambisi, bergelar Sarjana Teknik.

Ia kemudian mencalonkan diri menjadi anggota legislatif melalui partai berbasis Islam. Dan terpilih untuk kedua kalinya.

"Man, kamu gak berminat nyalon walikota?" Tanyaku sembari menyodorkan kursi padanya.

"Kita serahkan pilihan partai, Kon. Kalo partai menginginkan, yaa... harus maju. Tapi, kayaknya belum, partai masih melakukan pertimbangan-pertimbangan. Jangan sampai kembali terulang pilkada sebelumnya. Kandidat yang diusung partai dan menang, di akhir-akhir masa jabatannya malah berkhianat pindah partai."Jawabnya dengan diplomatis.

"Kayak kutu loncat, Man!" Selorohku mendengarkan cerita seorang kandidat kepala daerah terpilih periode lalu, namun pindah partai saat akan pencalonan lagi.

"Yaah, politik itu memang kejam jika kita tidak belajar saling menghargai." Pungkas pak Dewan, Diman.

"Terus, sekarang banyak banget tuh yang menawarkan diri. Sampai pasang spanduk promosi ini itu. Kira-kira yang berpeluang menurut pengalaman Diman?" Pancingku pada anggota dewan bersahaja ini.

"Semuanya punya rekam jejak baik, punya untung ruginya jika partai mengusung." Jawabnya, lagi-lagi dengan diplomatis.

"Tapi kan, pasti ada yang peluang lebih  besar diantara yang baik itu." Aku berusaha untuk menggodanya agar memberikan bocoran.

"Kalo Rizkon sendiri?" Ia malah bertanya balik padaku.

"Aku hanya rakyat biasa, Man. Suaraku mana bisa dipertimbangkan. Palingan saat mau pencoblosan saja suaraku diperlukan. Setelah itu? Diabaikan."

"Gak gitu juga kali, Kon! Banyak tuh yang sudah dilakukan pemerintah untuk warga kota Mimpi. Jalan sudah diaspal sampai ke pelosok, di kebun Rizkon malah jalannya sudah diaspal, kan?" Diman masih seperti yang dulu, tak mau menyalahkan orang lain. Selalu menilai kebaikan orang.

"Harga karet, harga sawit, dan harga hasil perkebunan lain masih seperti yang dulu tuh, malah lebih murah. Mana janjinya mensejahterahkan rakyat?" keluhku yang kesal dengan janji-janji kampanye pemimpin di negeri ini.

Rupanya empat orang laki-laki yang sedari tadi lebih awal membahas politik di negeri Ambisi ini, memperhatikan pembicaraan kami. Diman baru tersadar, ternyata salah satunya mitra kerja antara legislatif dan eksekutif. Pak Restominardi, Kepala Dinas Penanaman Modal Kota Mimpi. Pastinya, mereka saling kenal.

"Wah, ada Pak Resto juga di sini?" Diman segera berdiri dan menyalami pak Resto dan juga temanya.

"Apa kabar pak Diman? sudah lama kita gak ada pertemuan sejak adanya pandemi ini." Tanya pak Restominardi dengan salaman yang erat, seakan lupa protokol kesehatan covid-19.

***

Tanpa terasa suara tilawah dari suara TOA masjid yang tak jauh dari warung kopi tempat aku duduk sejak tiga jam lima belas menit yang lalu. Menandakan waktu sholat jumat akan tiba. Kamipun bergegas meninggalkan warung kopi. Pak Dewan, Diman, berpamitan dengan kami lalu masuk ke mobilnya. Demikian juga pak Restominardi masuk ke dalam mobil berplat merah menuju ke arah pusat kota. Dan tiga orang laki-laki itu masing-masing mengendarai sepeda motor meninggalkan warung kopi. Aku sendiri tetap setia dengan motor matik keluaran tahun 2011, kubeli hasil berjalan mundur mengelilingi pohon karet setiap hari. Iya, pekerjaanku berjalan mundur mengelilingi pohon karet, istilah yang dijuluki pada penyadap getah karet di kampungku.

Obrolan warung kopi hari ini bagaikan acara kupas tuntas kandidat calon kepala daerah di kota Mimpi.

Masing-masing memiliki pilihan dan harapan. Harapan jagoannya menang. Janji-janji mendapatkan jatah proyek, menjadi angan-angan tiga orang sekawan itu. Demikian juga angan-angan kembali mendapatkan jabatan strategis, tampak dari keseriusan pak Restominardi meyakinkan jika petahana yang bakal terpilih kembali.

Pak Dewan, Diman Hikayat menjadi salah satu anggota dewan yang begitu santun yang pernah aku kenal. Tidak sedikitpun menjelekkan atau berusaha menjatuhkan calon yang tidak sesuai dengan pilihannya. Sikapnya senada dengan status di media sosialnya. Selalu memberikan pencerahan. Mengawasi pemerintah dengan caranya yang santun. Berbeda dengan anggota dewan yang selama ini berteriak-teriak menjelek-jelekkan kinerja pemerintah. Melarang eksekutif melakukan perjalanan dinas luar daerah saat pandemo covid-19, nyatanya mereka diam-diam melakukan perjalanan dinas ke daerah zona merah penyebaran covid-19.

"Satu suaramu menentukan nasib kota ini, Rizkon! Silakan pilih yang terbaik diantara yang baik, berdoalah agar mereka amanah." Pesan Diman ini selalu terngiang ditelingaku, namun sisi lain juga terngiang obrolan tiga orang laki-laki dan seorang pejabat yang duduk dua meja dari tempat dudukku, "Sekarang yang banyak modal bisa mengalahkan pigur sehabat apapun."

Ahh, terserah! mau siapapun menang aku tetap jadi berjalan mundur mengelilingi pohon karet. Amanah itu akan dipertanggungjawabkan pada rakyat yang memilihnya, dan pastinya pada pengadilan akhirat nanti!

 

No comments:

Post a Comment