Karya: Abrah Ns
Dimuat di Koran Harian Medan Pos, Minggu 07 Februari 2021
"Pak Rizkon, bahan rapat dengan wali kota hari Senin besok sudah disiapkan?"
"Sudah, Pak Lurah. Sudah di meja Bapak. Untuk softcopy Saya kirim ke WA Bapak atau disimpan di flashdisk, Pak?" Jawab Rizkon sangat meyakinkan.
Percakapan dua orang pejabat di salah satu kantor kelurahan di Kota Ambisi tampak serius. Selain pak lurah secara jabatan merupakan atasannya, secara umur juga senior dibandingkan Rizkon. Namun jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan yang dimiliki, Rizkon merupakan alumni strata 2 salah satu perguruan tinggi ternama dalam negeri. Sedangkan pak lurah hanya mampu menyelesaikan pendidikan diploma 2. Pak lurah awal karirnya juga merupakan seorang guru PNS di salah satu SMP Negeri di kota ini, yang kemudian dipindahtugaskan menjadi pejabat struktural di pemerintahan karena dinilai memiliki kinerja baik selama mengabdi di sekolah. Rizkon selain sebagai bawahan pak lurah, ia menjabat sekretaris kelurahan.
Hari-hari menjalani aktivitas sebagai abdi negara, Rizkon sering kali berdiskusi dengan atasannya, pak lurah. Tak jarang silang pendapat antara keduanya. Kebiasaan lama yang masih dipertahankan pak lurah paling sering menjadi persoalannya.
"Pak, beberapa berkas SP3AT pengajuan warga belum ditandatangani oleh Bapak, padahal berkasnya sudah masuk lebih awal dibandingkan tiga berkas yang ditandatangani kemarin."
"Iya, Bapak belum sempat."
Pak lurah berlalu pergi meninggalkan kantor. Rizkon membuang nafas panjang. Ia kembali ke meja kerjanya dengan menggelengkan kepala menghadapi sikap atasannya itu. Keinginan Rizkon memberikan pelayanan prima pada warga tidak disambut baik oleh atasannya. Sikap Rizkon yang menentang kebiasaan pak lurah menerima amplop warga, bisa jadi menjadi penyebab pak lurah belum menandatangani berkas-berkas SP3AT yang diajukan.
Setahun sejak Rizkon dilantik oleh wali kota menempati posisi sebagai sekretaris lurah, ia menolak pemberian amplop dari warga saat berurusan di kantor lurah. Sebagaimana kebiasaan, tanda ucapan terima kasih katanya.
Rizkon sangat menyadari, jika pelayanan yang diberikan sudah merupakan kewajiban selaku aparatur negara yang digaji untuk itu. Menerima amplop atas pelayanan yang diberikan merupakan bentuk gratifikasi yang diharamkan dalam dunia birokrasi.
Silang pendapat antara Rizkon dengan atasannya itu, lagi-lagi terjadi. Pasalnya, pak lurah tidak merasa melakukan pungli apalagi memeras warga. Justru warga sendiri dengan sukarela memberikan amplop ucapan terima kasih.
"Salahnya di mana? Hahh! Bapak kan tidak minta, warga sendiri yang memberikan tanpa dipaksa." Pak lurah membentak.
"Maaf Pak, Saya hanya mengingatkan. Maaf jika Saya salah." Rizkon lalu pamit keluar dari ruangan pak lurah dengan membawa berkas yang sudah ditandatangani.
Rizkon menolak isi amplop yang dibagikan pak lurah kepadanya. Ia berkomitmen untuk menolak segala bentuk pungutan atas pelayanan yang diberikan kantor tempatnya bekerja.
Saat apel pagi harian, Rizkon didapuk sebagai pembina apel sesuai jadwal yang telah disusun dan ditandatangani pimpinannya itu. Di setiap kesempatan menjadi pembina apel, Rizkon selalu mengingatkan seluruh pegawai untuk melayani masyarakat tanpa mengharapkan imbalan. Larangan keras memberikan dan menerima imbalan atas pelayanan kantor kelurahan pun ditempel hampir di setiap pintu masuk ruangan.
"DILARANG MEMBERIKAN DAN MENERIMA IMBALAN DALAM BENTUK APAPUN ATAS PELAYANAN DI KANTOR KELURAHAN BERANGAN." Demikian bunyi komitmen yang tercetak pada kertas legal berwarna putih dengan tulisan huruf besar yang dibold.
Pelayanan di kantor Kelurahan Berangan berangsur tertib dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. Inovasi-inovasi yang dicetuskan Rizkon tidak sekedar formalitas, tapi benar-benar diterapkan dan dirasakan manfaatnya oleh warga.
"Alhamdulillah saya bikin Surat Keterangan Usaha luar biasa cepat. Biasanya harus menunggu berhari-hari dengan biaya yang tidak pasti, dengan sistem daftar online hanya butuh lima menit pendaftaran dan saat ke kantor ini suratnya sudah selesai di hari yang sama tanpa biaya apapun." Demikian salah satu kesaksian warga atas inovasi pelayanan yang dicetuskan Rizkon yang dimuat pada salah satu koran harian setempat.
Meskipun telah dicetuskan berbagai inovasi untuk memberikan pelayanan cepat dan prima serta menghindari adanya pungutan, masih saja terdapat celah yang dapat dimanfaatkan oleh pak lurah serta oknum pegawai untuk melancarkan kebiasaannya menerima atau meminta amplop. Pak lurah dan salah satu stafnya yang masih honorer memanfaatkan warga yang "buta" teknologi internet. Ia melakukan transaksi di luar kantor: mendatangi warga yang akan mengurus SP3AT. Tarifpun bervariasi. Tapi aksi yang umum dilakukan yang seakan legal adalah tarif sepuluh persen dari harga tanah yang akan dibuatkan SP3AT.
Suatu ketika, beberapa hari setelah dilantik menjadi sekretaris kelurahan, Rizkon pernah bertanya pada salah satu staf di kantor itu.
"Bu, tarif biaya penerbitan SP3AT yang diberikan ke pak lurah itu ada aturannya, ya?"
"Gak tau, Pak! ini sudah sejak dulu, sejak saya masuk sini sudah seperti ini. Setiap pengajuan penerbitan SP3AT dikenakan biaya sepuluh persen dari harga di kwitansi." Jawab ibu Minartun, yang sudah hampir pensiun dan telah mengabdi di kantor Kelurahan Berangan selama duapuluh tahun.
"Tapi selama ini Ibu pernah mencari tau dasar pengenaan tarif sepuluh persen itu?"
"Gak, Pak!" Jawabnya singkat lalu pergi meninggalkan Rizkon menuju kantin kantor.
****
Sore hari, matahari menuju peraduan. Pancaran-pancaran sinarnya yang temaram menggiring Nelayan Sungkur kembali ke rumah masing-masing setelah beradu dengan ombak, mencari sesuap nasi. Pun demikian dengan Rizkon yang mengendarai sepeda motor matiknya melewati pinggiran pantai yang berbatasan dengan jalan, melajukan kendaraannya kembali ke rumah. Hari ini Rizkon pulang ke rumah setelah menyelesaikan tugas-tugas kantor.
Sampai di rumah, belum juga motor diparkirkan, gawai Rizkon yang berada di saku celananya berdering. Ia buru-buru merogoh saku celananya. Melihat siapa yang menelponnya. Rizkon tampak serius mendengar percakapan seseorang di ujung telepon. Ia kemudian kaget seakan tidak percaya.
"Jangan bercanda, Pak!"
["Benar Pak Rizkon, pegawai honorer yang ditangkap melakukan pungli itu pegawai kantor Bapak."] Ucap seseorang di ujung telepon.
Keesokan harinya, pak lurah dipanggil pihak polresta untuk dimintai keterangannya. Pegawai honorer itu menyeret nama pak lurah.
Untuk beberapa hari ke depan, pegawai honorer itu ditahan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pungli yang dilakukan. Sementara pak lurah masih berstatus sebagai saksi.
Dampak penangkapan oknum pegawai kelurahan, di kantor Kelurahan Berangan tampak sepi. Pegawai tampak syok dengan penangkapan rekan kerjanya yang masih berstatus pegawai honorer. Rizkon berusaha untuk menyemangati rekan-rekan kerjanya, mengingatkan untuk menjalankan tugas masing-masing sesuai aturan yang sudah ditetapkan. Dan yang paling syok, Ibu Minartun. Entah ia terlibat atau tidak. Tapi, ingatan Rizkon tiba-tiba terngiang reaksi Ibu Minartun saat ditanya aturan pengenaan tarif penerbitan SP3AT waktu itu.
Seminggu setelah penangkapan pungli pegawai kelurahan, wali kota melakukan mutasi besar-besaran termasuk pegawai biasa. Rizkon salah satu yang mendapat undangan pelantikan itu. Dalam undangan tertera pakaian yang digunakan, PDU Lurah. Demikian juga pak lurah mendapat undangan pelantikan, namun dengan pakaian KORPRI.
Rizkon kemudian menemui pak lurah. Keduanya berbincang empat mata. Karena Rizkon belum memiliki baju PDU Lurah, pak lurah menawarkan bajunya. Kebetulan postur tubuh Rizkon tidak berbeda jauh dengannya. Keduanya memiliki tinggi sekitar 179 centimeter.
Hari pelantikan. Gedung Balai Kota Ambisi dipenuhi pegawai yang akan dilantik: ada yang dimutasi, ada juga yang dipromosi dan tidak sedikit yang didemosi.
Setelah pelantikan, Rizkon baru mengetahui jika ia dilantik menggantikan posisi atasannya, pak lurah. Sementara pak lurah dilantik di tempat baru di Kelurahan Beranggap dengan posisi jabatan Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban.
Mengetahui posisi pak lurah yang turun jabatan, Rizkon seakan tidak percaya. Tubuhnya lemas, sendi-sendi kakinya seakan tak berfungsi. Rizkon terjatuh di kursi sebelum ia duduk. Perasaan tidak enak, terlebih jabatannya menggantikan posisi pak lurah. Baju kebesaran pak lurah yang dikenakannya begitu berat dipundaknya. Rizkon duduk termenung, ia merasa bersalah. Namun, komitmennya untuk memberikan layanan prima tanpa pungli tak akan surut.
••••••
** SP3AT: Surat Pernyataan Pengakuan Penguasaan Atas Tanah.
No comments:
Post a Comment