Kendaraan Dinas dan Tanggungjawab Moral

 Perjuangan untuk mendapatkan NIP bukan sesuatu yang mudah. Bayang-bayang “setoran” dan “kerabat pejabat” merupakan lawan terberat saat itu. Berasal dari keluarga serba kekurangan, rasanya mustahil bisa mendapatkan NIP jika harus melakukan “setoran” dan lebih mustahil lagi jika harus melalui jalur “keluarga pejabat” sebab jangankan masuk lingkaran keluarga pejabat, mengenal pejabatpun hanya sekedar mengetahui namanya tanpa paham apa jabatannya. Namun, mimpi untuk menjadi abdi negara tidak menyurutkan niat penulis untuk terus berjuang dan mencoba. Bukan hanya keinginan untuk mendapatkan gaji dan pensiun yang terjamin, keinginan untuk berkontribusi pada negara dengan berbalut pakaian dinas yang sah menjadi motivasi terbesar bagi penulis, disamping ada keinginan untuk mengubah  persepsi negatif masyarakat terhadap PNS.

Akhir tahun 2007, Penulis mencoba peruntungan dengan mengikuti serangkaian seleksi CPNS. Tahun 2008 awal, mimpi penulis yang selama ini masih dalam pelukan Sang Maha Memiliki, dikabulkan. JanjiNya jika rezeki bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka, nyata! Dan 2008 pertengahan, penulis resmi mendapatkan NIP dengan status calon pegawai.

Awal menjalani aktivitas sebagai aparatur sipil di salah satu pemerintah daerah otonomi, kala itu, seringkali menemukan hal-hal yang bertolak belakang di dunia swasta. Semisal, pegawai senior dengan status Pegawai Negeri atau Pegawai Honorer sekalipun berkantor sesempat dan sesuka mereka. Tidak ada rekaman kehadiran sebagai tolak ukur tingkat kehadiran.  Tidak ada teguran atasan sebagai tindakan penegakan disiplin. Tidak ada pemotongan tunjangan apalagi gaji. Semuanya berjalan tanpa ada rasa bersalah. Dan yang paling mencengangkan, lebih dari separuh pegawai memiliki kendaraan dinas berplat merah.

Berbeda saat penulis masih berstatus sebagai pekerja swasta di salah satu sekolah menengah kejuruan, menuntut kedisiplinan dan resiko yang tinggi dengan ancaman pemotongan tunjangan bahkan gaji manakala melalaikan jam kerja. Jangankan kendaraan dinas, sebagai pekerja swasta biaya untuk perbaikan kendaraan yang rusak karena menjalankan tugaspun harus ditanggung sendiri. Membandingkan dua kondisi yang saling bertolak belakang ini, memompa semangat penulis untuk terus meningkatkan disiplin dan kinerja sebagai aparatur sipil.

Seiring berjalannya waktu, penulis terus memperhatikan sikap oknum aparatur sipil khususnya dalam penggunaan kendaraan dinas. Tulisan ini disampaikan sebagai bentuk keprihatinan terhadap penggunaan kendaraan dinas oleh aparatur yang semakin tidak teratur. Penggunaan kendaraan dinas bukan sekedar memiliki tanggung jawab resiko pada kendaraan namun terlebih pada tanggung jawab moral disaat menggunakannya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, membagi kendaraan dinas itu dalam tiga kategori, yakni Kendaraan Dinas Perorangan; Kendaraan Dinas Jabatan; dan Kendaraan  Operasional. Dalam peraturan ini telah diatur pengamanan dan pengelolaan kendaraan dinas. Penyerahan kendaraan dengan berita acara yang meliputi klausa-klausa seharusnya sudah sangat cukup bagi pengguna kendaraan dinas untuk menjaga dan menggunakan sesuai peruntukannya. Jika tanggungjawab moral ikut dijalankan.

Sikap pimpinan instansi yang membiarkan penggunaan kendaraan dinas diluar peruntukannya, bahkan pimpinan instansi itu sendiri yang melakukan, semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aparatur sipil.

Selain penggunaan kendaraan dinas bukan pada peruntukannya, pengalihan kendaraan dinas pada pihak lain atau penggunaan kendaraan dinas oleh orang lain juga masih mewarnai cerita di masyarakat. Seperti halnya, berita pada satu koran lokal Bangka Belitung (02/07/2018) yang mengabarkan ditemukannya sebuah kendaraan dinas roda 4 berplat merah yang terjebak air laut disalah satu pantai pulau Bangka. Kabar ini memantik kemarahan masyarakat, terlebih pengguna kendaraan tersebut adalah bukan untuk keperluan dinas, melainkan untuk rekreasi anggota keluarga aparatur sipil penanggung jawab kendaraan tersebut. Kabar ini hanya sebagian kecil diantara sekian kejadian yang tidak terekspos media. Setelah kendaraan tersebut rusak alih-alih mengeluarkan biaya dari kantong pribadi untuk mempebaikinya, justru diserahkan ke instansi untuk melakukan perbaikan. Apakah pengguna atau penanggungjawab kendaraan dinas tersebut dikenakan sanksi sebagaimana yang tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS? Entahlah!

Belum lagi penggunaan kendaraan dinas, terutama kendaraan dinas roda dua yang bebas digunakan oleh anak, saudara, tetangga bahkan teman di jalan raya tanpa mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Bukannya memberikan contoh sebagai pengguna kendaraan yang dibeli dari uang pajak rakyat, justru menjadi racun bagi pengguna jalan yang memiliki niat untuk tidak tertib.

Pengelolaan kendaraan dinas atau barang milik daerah oleh pemerintah sudah dilakukan secara tegas melalui sebuah aturan tertulis, termasuk sanksi yang akan diberikan pada pengguna jika penggunaan tidak sesuai peruntukan. Sebut saja Peraturan Pemerintah yang terbaru tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Nomor 28 Tahun 2020 sebagai Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014. Kemudian sebelumnya, telah terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014. Dan penggunaan kendaraan dinas aparatur sipil telah khusus diatur dalam PermenPAN Nomor 87 Tahun 2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan dan Disiplin Kerja. Kendaraan Dinas hanya digunakan untuk kepentingan dinas yang menunjang tugas dan fungsi pokok PNS yang bersangkutan. Kenyataannya, masih terdapat  daerah yang menjadikan peraturan-peraturan  ini hanya sebagai onggokan kertas tercover yang diarsipkan. Isinya, diabaikan!

Menurut hemat penulis, penggunaan kendaraan dinas perlu diatur secara ketat sebagai pertanggugjawaban moral pada rakyat. Perlu melibatkan masyarakat untuk mengawasi penggunaan kendaraan dinas. Misalnya, membuat pengumuman baik melalui media elekronik maupun media cetak bahwa masyarakat yang menemukan kendaraan dinas yang digunakan bukan peruntukannya agar melaporkan ke pemerintah setempat melalui media yang telah disiapkan. Identitas pelapor dirahasiakan dan jika terbukti akan diberikan penghargaan. Dan sebagai sanksi bagi penanggungjawab kendaraan dinas tersebut diwajibkan membayarkan denda ke kas umum daerah/negara dan membuat pernyataan tertulis dan lisan (video) permintaan maaf atas penggunaan kendaraan dinas bukan peruntukannya melalui media yang telah ditentukan. Sanksi denda dan permintaan maaf ini dapat dituangkan dalam peraturan daerah atau kepala daerah, sebagai pertanggungjawaban pada rakyat yang telah membayar pajak untuk daerah.

Selain itu, kepala instansi wajib memiliki rasa tanggungjawab terhadap semua barang milik daerah/negara yang menjadi tanggungjawabnya. Sehingga, perlu memberikan teladan dalam penggunaan kendaraan dinas dan berani memberikan teguran baik lisan maupun tertulis jika mengetahui jajarannya melakukan pelanggaran dalam penggunaan kendaraan dinas.

Pengenaan sanksi denda dan pemintaan maaf pada rakyat, setidaknya pengguna atau penanggungjawab kendaraan dinas akan berusaha semaksimal mungkin menjaga resiko dan moral sebagai makhluk sosial. Demikian juga sikap teladan pimpinan menjadi hal wajib diterapkan dan lebih efektif jika dibandingkan peraturan tertulis namun terus dilanggar.

No comments:

Post a Comment