Dua puluh tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku SD, ibu sering bercerita prihal makhluk jadi-jadian. Makhluk yang dapat menjelma menyerupai benda apa saja atau makhluk hidup tertentu. Biasanya menyerupai binatang seperti anjing tak berekor, atau menyerupai pohon pisang yang hanya memiliki dua daun, atau tempat ayam bertelur, bahkan menyerupai kardus bekas.
Meskipun tempat tinggalku berada di sebuah kampung dengan beragam suku dari Sabang sampai Marauke dengan penduduk lokal asli suku Melayu. Semua hidup berdampingan, rukun dan damai. Kampung dengan alam yang subur, penghasil lada dan timah. Namun, keyakinan ibu terhadap keberadaan makhluk ini membayangi kehidupan keluargaku.
Ibuku berkisah, makhluk jadi-jadian itu menjadi kisah nyata di tanah Bugis, Sulawesi Selatan, daerah asal kelahiran ibuku. Tidak sedikit orang menjadi korban keganasannya. Istilah ibuku, diiso pellona Parakang (rektumnya diisap Parakang).
"Bu, bukankah menurut ibu Parakang itu ilmu hitam yang diwariskan di tanah Bugis? artinya di daerah kita ini mustahil ada Parakang dong, Bu!"
Ibuku terdiam sejenak. Ia berpikir keras untuk meyakinkanku jika Parakang ada di kampung ini dan harus diwaspadai.
"Viondri... Parakang itu ilmu hitam yang diwariskan, orang yang menerima ilmu itu akan menjelma di mana saja ia mau. Ia dapat menjangkau sejauh tujuh kampung untuk mencari korban. Dan bisa saja di daerah ini ada keturunannya yang diwariskan dari leluhurnya yang dibawa dari tanah Bugis."
Aku menarik nafas panjang, ibu benar-benar kekeh dengan keyakinannya. Ibuku bukan tanpa alasan kembali mengungkap ketakutannya pada Parakang. Pasalnya, di rumah kami sedang ada bayi, anakku. Menurut ibu selain orang sakit, orang hamil, orang terkena diare dan sering ke kamar mandi, bayi yang baru lahir salah satu menjadi incaran empuk Parakang diiso pellona.
Bayiku yang baru dua hari kulahirkan tidak boleh ditinggal sendirian meskipun hanya sekian detik. Pesan itu berulang-ulang disampaikan padaku juga suamiku.
Aku, bang Erlis dan bayiku masih tinggal serumah dengan ibu. Suamiku sejauh ini tidak keberatan jika kami masih menumpang di rumah ibuku. Sesekali kami menginap di rumah mertuaku ketika suamiku libur. Erlispijaja, suamiku bekerja sebagai tenaga honorer di kantor pemda setempat.
Menjelang maghrib, suamiku bersiap-siap menuju masjid kampung untuk sholat berjamaah. Aku masih menggendong bayiku. Manut pada pesan ibu, bayi itu jangan dilepas saat waktu maghrib. Parakang berkeliaran.
Suasana rumah sepi. Hanya ada suara bayiku yang menangis ditimanganku, tidak seperti biasanya yang anteng ketika bersamaku. Aku berusaha menenangkan. Lagu-lagu sholawat yang biasanya kulantunkan tak dihiraukan. Ia terus menangis. Susu formula yang kuberikan juga ditolaknya.
Suara gonggongan anjing yang tak jauh dari balik jendela kamar membuat bulu kudukku berdiri. Suasana bak film Ratu Ilmu Hitam yang disutradarai Kimo Stamboel.
Gubrakkk! suara benda terjatuh. Apa mungkin tangki Tedmond penampung air yang terjatuh. Mustahil. Tiang penyangganya kuat, kok! Aku coba menerka.
Bang Erlis lama bener sih! Rasa takut semakin menyelimutiku. Aku membelakangi jendela. Kukeraskan lantunan sholawatku mengalahkan suara bayiku yang menangis. Ibuku sedang sholat maghrib di kamar belakang dilanjutkan dengan mengaji, jika tidak pastinya beliau segera menghampiri cucunya yang sedang menangis.
“Bang! coba lihat Tedmond di belakang, tadi ada yang jatuh. Suaranya kencang banget, dari arah Tedmond itu.” Kuutarakan suara yang kudengarkan bersamaan dengan gongongan anjing, setibanya bang Erlis dari Masjid.
Bang Erlis keluar kamar. Berbekal senter pada Androidnya, ia segera memeriksa suara yang kudengarkan beberapa menit yang lalu.
“Aman! Tedmond gak jatuh, kok. Hanya ada pohon pisang yang tumbang persis deket tiang penyangga Tedmond.” Lapor bang Erlis setelah melihat Tedmond yang masih di posisi semula.
"Yang benar, Bang? Suaranya kencang banget, malah seperti benda angkasa yang menghujam bumi mengenai atap seng rumah.” Jawabku. Meskipun dalam pikiran, apa iya suara pisang tumbang sekencang itu? bulu kudukku berdiri, merinding.
"Kalo kamu takut, besok-besok Abang sholat maghrib di rumah saja." Bang Erlis menenangkanku.
"Seumur-umur tinggal di rumah ini, aku tidak pernah merinding dan takut seperti ini, Bang!"
"Suara anjing itu memang anjing beneran, bukan anjing jadi-jadian. Sepulang dari masjid tadi, memang ada anjing kok di samping rumah."
Malam terus larut, terasa begitu panjang. Bayiku yang terus terjaga menambah kekhawatiranku. Sementara suamiku tidur pulas. Suara aneka macam jangkrik, kodok, bahkan suara burung hantu di luar rumah melengkapi rasa takutku. Berbeda dengan malam biasanya.
Ibuku yang biasanya selalu terjaga ketika bayiku menangis, berbeda malam ini. Tidak menampakkan diri. Akupun tidak membangunkannya, barangkali tertidur pulas. Letih seharian mengurus aku dan bayiku.
Hembusan angin pagi menyambut begitu jendela kamar dibuka bang Erlis. Suara kicauan burung Perbak di dahan rambutan menambah semangatnya pagi. Seakan suasana malam yang menyeramkan beberapa jam yang lalu, ditelan pagi yang teramat cerah.
Aku menggendong bayi mungilku di teras rumah, menunggu sinar matahari pagi. Ibuku sedang sibuk memanjakan bunga-bunga kesayangannya yang sedang trend. Bunga Aglonema dengan berbagai warna tersusun rapi dengan pot senada dengan warna yang sama, putih. Tidak ketinggalan sebuah pot jumbo dengan Alokasia raksasa yang diletakkan persis di pojok teras.
“Vio, anakmu tidurnya nyenyak semalam? Ibu gak ada dengar ia nangis!” Ujar ibuku sembari membersihkan daun bunga kesayangannya, Alokasia raksasa.
“Ya Allah, Bu! Semalaman aku gak bisa tidur. Dedek nangis terus, rewel.”
“Ibu berarti tidurnya nyenyak. Tidak tau kalo si dedek rewel.” Jawab ibu dengan tetap fokus pada bunga-bunganya.
Aku hanya menghela nafas. Tidak ada jawaban yang terlontar dari bibir. Menjaga perasaan ibu. Otakku berpikir keras, apa iya suara bayiku hanya aku yang mendengarkan? atau aku berhalusinasi?
“Lain kali, kalo anakmu rewel, bangunkan Ibu. Jangan dibiarkan, Parakang senang loh!”
Sore menjelang malam. Hembusan angin terasa sangat dingin. Aku memandang ke arah pepohonan di sekitar rumah dari balik jendela. Semilir angin yang melambai-lambaikan dedaunan pohon kelapa, terasa sejuk dan menambah suasa adem. Setidaknya suasana ini sedikit menghilangkan rasa khawatirku. Khawatir menghadapi malam.
"Bang, maghrib di rumah ya!" Aku mengingatkan suamiku, meskipun ada rasa berdosa menghalanginya untuk berjamaah di masjid sebagaimana harusnya seorang laki-laki.
Bang Erlis hanya mengangguk, tanda mengiyakan.
Aku sholat maghrib bergantian dengan bang Erlis, tidak berjamaah. Ketika bang Erlis sholat, aku yang menggendong bayiku dan sebaliknya saat aku yang sholat giliran bang Erlis yang menggendong si mungil. Pesan ibuku mau tak mau kujalankan, agar tidak sesal dikemudian hari.
Malam ini sedikit tenang. Selain bayiku tampak tidur pulas, suamiku tampak siaga dengan segelas kopi hitam yang telah kubuatkan atas permintaannya. Seperti biasa, Bang Erlis meminta dibuatkan kopi hitam jika akan lembur pekerjaan kantor. Kali ini lembur siaga menjagaku!
"Bang, kopinya kuletakan di atas meja Nakas. Ada roti Gabin juga." Pesanku pada Bang Erlis yang masih menonton TV di ruang keluarga.
"Siaap. Abang juga udah mau ke kamar." Ucap Bang Erlis lalu mematikan TV. Kebetulan tinggal bang Erlis yang masih bertahan di depan TV, yang lainnya sudah keperaduannya masing-masing.
Di kamar, aku merebahkan badan. Bang Erlis menyeruput kopi hitam yang telah kusiapkan ditemani cemilan roti Gabin kesukaannya.
Saat aku terbangun, suara tarhim di masjid sudah terdengar. Bang Erlis telah siap-siap berangkat sholat subuh berjamaah.
Malam ini aku benar-benar tertidur pulas. Sebaliknya suamiku benar-benar terjaga. Kulihat botol-botol susu bayiku semuanya sudah terpakai, artinya semalaman bang Erlis menjagaku dan juga menyiapkan susu formula untuk bayi kami. Bayiku tidak aku susui, hanya kuberikan susu formula. Sejak lahir hanya seminggu ia kususui, setelahnya ia menolak jika kuberikan.
Pagi itu bang Erlis berbeda dengan biasanya. Ia diam seribu bahasa. Saat kuajak untuk sarapan pagi, ia hanya mengangguk.
“Bang, kok diam aja? ada yang salah ya?” Aku mencoba bertanya penasaran.
“Gak ada apa-apa. Cuma, kenapa ya anak kita kalo malam bawaannya rewel?”
“Ya Allah, Bang. Semalam juga rewel? Kenapa tidak bangunin aku?”
Bang Erlis hanya terdiam. Menyelesaikan sarapan pagi lalu meninggalkan meja makan dan pamit untuk berangkat kerja.
Ketika bang Erlis berangkat kerja. Aku menceritakan hal aneh yang kami alami pada ibu. Namun, ibuku hanya terdiam memandangi bayiku yang sedang digendongnya.
Malam berikutnya, aku dan bang Erlis sepakat untuk berjaga. Kondisi yang sama seperti malam sebelumnya. Bayi mungilku masih rewel. Anehnya, jika matahari pagi telah menampakkan sinarnya, bayiku seakan anteng. Tidur nyenyak.
Setelah beberapa malam bayiku terus rewel dan pemeriksaan bidan desa di kampung juga sudah dilakukan. Kondisinya sehat. Ibuku mencoba meminta bantuan sesepuh kampung, hasilnya juga sama. Bayiku sehat, tidak ada gangguan. Menurut sesepuh, bayi yang rewel di malam hari bisa jadi ada yang akan berbuat jahat terhadap penghuni rumah. Bisa manusia biasa atau juga makhluk jadi-jadian.
Malamnya. Selesai sholat isya, suara gemuruh di belakang rumah persis arah tangki Tedmond mengagetkanku dan juga bang Erlis serta ibu. Bang Erlis dan ibu segera menuju sumber suara. Aku dan bayiku tetap di kamar.
“Allahu Akbaaaarrr.” Suara bang Erlis yang kencang mengagetkanku bahkan juga tetangga samping rumah.
Bang Erlis berulang kali takbir sembari berlari mengejar sesuatu ke arah hutan belakang rumah. Tetangga berdatangan dan ikut membantu mengejar sesuatu itu yang semula jatuh bergemuruh di tempat yang sama beberapa malam yang lalu.
Upaya pencarian tidak membuahkan hasil. Mungkinkah itu makhluk jadi-jadian yang selama ini jadi bayang-bayang dalam hidup ibuku? Aku tidak tau. Tapi penuturan bang Erlis, itu bukan manusia biasa. Awalnya dikira pohon pisang yang tumbang, tiba-tiba berubah wujud menyerupai manusia raksasa. Dan hilang dalam sekejap dikegelapan malam.
No comments:
Post a Comment